Rabu, 22 Juli 2020

Ta'limul Muta'alim dalam Matematika

     
      Pentingnya Adab Sebelum Ilmu. Sederhana, mungkin banyak orang yang tahu, tetapi tak banyak yang bisa mengamalkannya. Saya sendiri pun masih perlu banyak belajar. Adab adalah jalannya berkah sebuah rezeki, rezeki itu semua yang memberi manfaat (Prof. Quraish Shihab). Lalu apa gunanya menuntut ilmu jika bukan untuk mendapatkan manfaat dari ilmu itu? Berkah sangat erat kaitannya dengan rezeki. Rezeki yang kita dapatkan tidak akan bisa membawa berkah jika tidak memberi bermanfaat untuk kita. 
     Dalam islam, banyak sekali amalan-amalan untuk mendatangkan rezeki. Apapun jalurnya, kuncinya harus yakin sama Allah Swt. Dia yang Maha Tahu yang terbaik untuk kita. Tapi, apakah kita tahu bahwa rezeki yang sudah Allah Swt. takdirkan untuk kita itu bisa terhalang? Salah satu terhalangnya rezeki adalah disebabkan karena perbuatan dosa, terutama perbuatan dusta (karena ia) akan menyebabkan kefakiran.
      Demikian pula tidur pagi, ia akan menghalangi rezeki, dan banyak tidur akan mengakibatkan kemelaratan harta. (Dan begitu juga kemelaratan ilmu). Kitab Ta'limul Muta'alim karya Imam Az-Zarnuji menguak hal-hal yang menghalangi rezeki. Perbuatan-perbuatan berikut ini perlu kita ketahui agar sampainya rezeki yang sudah menjadi jatah kita dapat berjalan mulus tanpa terhalangi.
      Tidur telanjang, (kencing dengan telanjang), makan dalam keadaan junub atau makan (sambil tiduran), membiarkan sisa makanan berserakan di meja makan, membakar kulit bawang merah dan putih, menyapu lantai dengan sapu tangan di waktu malam, membiarkan sampah berserakan mengotori rumah, berjalan di depan orang-orang tua, memanggil kedua orangtua langsung dengan namanya, membersihkan sela gigi dengan benda kasar, mengusap kedua tangan dengan tanah dan debu,
      duduk di beranda pintu, berwudhu di tempat orang buang hajat, menjahit pakaian yang sedang dipakai, menyeka muka dengan kain, membiarkan sarang laba-laba (berada di rumah), meremehkan sholat, bergegas keluar masjid setelah sholat Subuh, pergi ke pasar pagi-pagi dan melambatkan diri pulang darinya, membeli potongan roti dari orang-orang fakir peminta-minta, mendoakan buruk kepada orang tua, membiarkan wadah tidak tertutupi, mematikan lampu dengan meniup, kesemuanya itu dapat mendatangkan kefakiran (tidak memiliki harta dan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari), sebagaimana yang diterangkan dalam atsar.
      Begitu juga menulis dengan pena rusak, menyisir dengan sisir yang rusak, tidak mendoakan yang bagus untuk orang tua, memakai serban sambil duduk, memakai celana sambil duduk, kikir (terhadap orang fakir), terlalu hemat (pelit), atau berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda atau menyepelekan suatu urusan, (semua itu menyebabkan seseorang menjadi fakir). 
     Dalam matematika, keadaan fakir dapat digambarkan dengan bilangan negatif. Bahkan bilangan negatif itu bisa kita asumsikan dengan bilangan negatif tak terhingga karena kondisi fakir adalah kondisi yang bisa dikatakan untuk orang yang paling tidak memiliki. Lalu, apakah bilangan negatif tak terhingga dalam garis bilangan tersebut dapat bergeser ke bilangan bulat 0 (nol) atau bilangan bulat positif ??? Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah Swt. sudah berkehendak. Jadi, jawabannya bisa. Nhah, bagaimanakah caranya? InsyaAllah tulisan selanjutnya akan menjawab pertanyaan ini. Atau kawan-kawan yang sudah mengetahui caranya bisa share di kolom komentar untuk kita bahas di tulisan berikutnya. Terima kasih.
Semoga bermanfaat.... :)





Referensi:
Az-Zarnuji, Imam. 2019. Ta'limul Muta'allim: Pentingnya Adab Sebelum Ilmu. Solo: AQWAM
Website: https://www.pesantrenvirtual.com/yang-disebut-fakir-dan-miskin/ diakses pada Hari Rabu, 22 Juli 2020.
      
 

Kamis, 18 Juni 2020

Tips Memberikan Penilaian Kepada Siswa Agar Adil

Matematika adalah mata pelajaran yang hingga saat ini sangat terkenal dengan keeksakannya. Hasil jawabannya pasti. Jika jawabannya bukan itu ya salah. Apalagi jika soalnya pilihan ganda, auto mutlak salah ya salah, benar ya benar. Hanya bisa berubah ketika guru salah memberikan pilihan jawaban. Akhirnya bisa direvisi atau jadi bonus deh. Siswa tu bahagianya disini sama bonus. Membahagiakan orang itu berpahala lho. Hehe... canda yaa... Kurang tepat jika diletakkan disini.

Hampir satu tahun mengajar di sebuah sekolah swasta membuat saya berlatih dan terus berlatih bagaimana memberikan nilai yang adil untuk siswa. Objektif atau subjektif? Banyak orang berpandangan bahwa memberikan penilaian itu harus objektif, apalagi untuk mata pelajaran matematika.
Hemmm, tiba-tiba saya teringat salah satu dosen saya saat kuliah di S1. Beliau ini jika mengoreksi hasil ujian dari mahasiswa-mahasiswanya hampir selalu paling akhir. Nilai mata kuliah yang lain sudah keluar, tinggal nilai mata kuliah beliau sendiri yang belum keluar. Bahkan kalau ditagih sama mahasiswanya berdalih jika belum selesai mengoreksi. Dibuat penasaran lah kami. Lama sekali mengoreksinya. Kami ingin segera bisa tahu nilainya.

Usut punya usut, ternyata beliau ini saat mengoreksi tidak hanya objektif melihat hasil pekerjaan mahasiswa-mahasiswanya, melainkan juga menggabungkan subjektivitas. Memberikan nilai pun bukan menggunakan pulpen, apalagi pulpen merah yang jika dilirik saja sudah membuat ngeri-ngeri sedap, tapi menggunakan pensil. Kenapa? Padahal beliau ini seorang doktor, kenapa harus takut memberikan nilai dari hasil pekerjaan mahasiswanya? Hmmm....

Ternyata, beliau ini saat memberikan nilai dengan menggunakan pensil punya maksud agar bisa dihapus lagi jika beliau salah memberikan nilai, tanpa harus mengotori dengan membuat bekas tipe-x di lembar hasil pekerjaan mahasiswanya. Selain itu, subjektivitas beliau gunakan untuk menganalisis bagaimana mahasiswa ini sungguh-sungguh dalam mengerjakan. Mahasiswa kira-kira meyontek atau berusaha mengerjakan sendiri. Mahasiswa yang bersungguh-sungguh mengerjakan sendiri terlihat dari algoritma dalam mengerjakan secara terstruktur dan tentunya tidak sama dengan jawaban mahasiswa yang lain. Mahasiswa yang demikian tentu akan mudah mendapatkan nilai tambahan dari sang dosen. Sedangkan mahasiswa yang terindikasi melakukan kecurangan, bahkan jawabannya mirip atau bahkan sama dengan mahasiswa lain tentu akan berpotensi turunnya nilai meskipun hasil akhir jawabannya benar.

Nhah, belajar dari sinilah saya juga meniru bagaimana memberikan penilaian kepada siswa-siswa saya. Tak hanya dilihat dari sisi objektivitas, tetapi juga subjektivitas. Saya tidak segan memberikan nilai tambahan kepada siswa yang yang memang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan. Semisal KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) adalah 75, kemudian ada siswa mendapatkan nilai 74, maka saya akan analisis lagi jawaban si siswa ini. Jika memenuhi syarat kebaikan, maka saya akan memberikan nilai 75 alias lulus KKM. Meski nantinya juga akan diberikan sedikit materi atau pembahasan tambahan. Akan tetapi, saya juga sangat mudah mengurangi nilai jika siswa saya terindikasi bahkan terbukti melakukan kecurangan. Nilai yang tadinya 74 tetap akan 74 jika setelah dianalisis tidak menunjukkan kebaikan atau konsep algoritma yang dilakukan siswa melenceng dari yang seharusnya, bahkan bisa jadi justru turun dari 74.

Oleh karena itu saya berharap, para pendidik melakukan hal demikian dalam memberikan penilaian agar siswa terlatih untuk menjadi pribadi yang jujur. Pendidik tidak boleh hanya terpaku memaksakan nilai akademik yang tinggi, sedangkan nilai akhlak atau moralnya terabaikan. Saat ini, kita sedang mengalami dekadensi (penurunan kualitas) moral. Guru memiliki peran yang sangat vital untuk berusaha mengubah stigma ini. Semoga kita para guru bisa berhasil membentuk moral anak-anak didik kita menjadi insan yang mulia berakhlakul kharimah. Salah satunya dengan memberikan apa yang sudah menjadi haknya, nilai yang sesuai dengan proses dan hasil kerja kerasnya.
Aamiin...


Yogyakarta, 18 Juni 2020
Nurika Miftahuljannah,M.Pd.

Jumat, 24 April 2020

Integrasi Islam Terpadu : Hubungan Antara Matematika Dengan Islam


RELASI

Pada matematika simbol X dan Y, biasanya digunakan untuk penyimbolan pada fungsi maupun himpunan, X untuk daerah asal (domain) dan Y daerah kawan (kodomain).
Disini saya akan menggunakan simbol X dan Y untuk menyimbolkan laki – laki dan Perempuan.

Berikut ini akan dipaparkan beberapa kesamaan antara agama Islam dan Matematika secara satu persatu.

Relasi berasal dari kata bahasa Inggris relation yang berarti hubungan. Dalam dunia Islam hubungan antara umat islam dengan umat islam yang lain (yang saya maksud disini antara pria dan wanita yang belum menikah) selama tidak menimbulkan fitnah dan tidak keluar dari jalur syariat maka diperbolehkan, bahkan bergaul dengan umat yang berbeda agamapun diperbolehkan. Dengan kata lain adalah hubungan yang sehat, tidak saling bertukar virus lewat cairan dan sebagainya. Tiap orang boleh berteman dengan satu orang, dua orang dan banyak orang tidak dibatasi.
Bahkan seseorang dapat memilih untuk tidak bergaul dengan orang lain (mungkin orang yang akan diajak bergaul,tersebut membawa pengaruh buruk dalam lingkungan)
Seperti yang diterangkan dalam QS Al Insaan ayat 24 :

Maka Bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.( QS.Al Insaan: 24)
Dalam matematika juga terdapat istilah Relasi yang artinya tidak jauh beda dengan arti relasi di atas.

Semisal ada himpunan X={1,2,3,4}  dan Y= {a,b,c}
Jadi relasi dalam matematika tidak membatasi anggota X dalam menjalin hubungan dengan anggota Y, boleh hanya satu relasi, dua relasi, tiga relasi, dan bahkan tidak melakukan hubungan pun juga diperbolehkan.

Dapat disimpulkan, relasi dalam Islam dan relasi dalam matematika mempunyai persamaan. 

Seperti yang diterangkan dalam Al-Qur'an :
yang artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Dan Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. ( QS Annisaa' : 1)

DIAGRAM VENN
 Dalam suatu diagram venn terdapat bagian-bagian. Didalamnya terdiri dari himpunan- himpunan dan didalam himpunan tersebut terdapat elemen-elemen. Himpunan-himpunan dalam diagram venn yang merupakan himpunan semua obyek dari suatu pembicaraan disebut himpunan semesta.
    Konsep diagram venn tersebut dapat kita aplikasikan dalam kehidupan manusia. khususnya untuk orang islam, karena di mata Allah SWT terdapat beberapa golongan sesuai dengan tingkat keimanannya. Yakni mutaqin, mukhsin, mukmin, muslim, dan kafir. Diagram venn tersebut dapat digambarkan:


Keterangan:

S = Orang islam
M1: Muttaqin
M2 : Mukhsin
M3 : mukmin
M4 : Muslim
K : Kafir
§  Dari gambar diagram venn tersebut dapat dijelaskan bahwa di mata Allah SWT orang islam dibagi dalam beberapa golongan sesuai dengan tingkat keimanannya. Yakni: muttaqin, mukmin, mukhsin, muslim dan kafir. Dimana orang islam paling sempurna ialah apabila ia telah mencapai tingkatan Muttaqin.

§  Muslim adalah orang yang telah bersyahadat, serta telah berserah diri dan dalam hal ini berpasrah kepada tuhan.

§  Mukmin adalah seorang muslim yang istiqomah atau konsisten dan berpegang teguh kepada nilai kebenaran,sampai pada hal-hal yang terkecil

§  Mukhsin

§  Muttaqin adalah orang yang setiap perbuatannya sudah merupakan perwujudan dari komitmen iman dan moralnya yang tinggi.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 88

" Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan[1] dalam (menghadapi) orang-orang munafik, Padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah[2]? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya"

[1] Maksudnya: golongan orang-orang mukmin yang membela orang-orang munafik dan golongan orang-orang mukmin yang memusuhi mereka.

[2] Disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.


Disusun oleh:
Aulia Khamida/8B
2018

Sabtu, 28 Maret 2020

Cerminnya Matematika Dalam Islam


Islam itu sebuah agama yang melingkupi semua aspek kehidupan. Karena itu, seluruh bidang ilmu pun semuanya terkait dengan nilai Islam. 
Allah Swt  telah  menjelaskan dalam Al-Quran, “Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Quran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf [12]: 111)
Berikut ini adalah contoh matematika yang berhubungan dengan agama Islam:

Refleksi ( pencerminan) 


Gambar di atas merupakan contoh refleksi yang sering anda jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah bangunan direfleksikan oleh danau. Gambar bangunan di bawah permukaan air merupakan bayangan dari bangunan di daratan tepi danau.
Refleksi merupakan salah satu jenis transformasi. Untuk melakukan suatu refleksi diperlukan sumbu refleksi atau sumbu simetri atau garis refleksi atau garis cermin.


·         Diketahui titik C sejajar dan sama dengan cerminannya yaitu titik C’
·         Diketahui titik B sejajar dan sama dengan cerminannya yaitu titik B’
·         Diketahui titik A sejajar dan sama dengan cerminannya yaitu titik A’
Dalam ajaran islam, kehidupan di akhirat adalah kehidupan yang berkekalan dan tiada berkesudahan. Ganjaran dan balasan di akhirat sangat setimpal dengan amalan setiap makhluknya. Ini adalah bukti keadilan Allah SWT. Sesungguhnya kehidupan akhirat itu berkait rapat dengan kehidupan kita semasa di dunia ini. Jika amalan kita soleh, maka sejahtera dan berbahagialah kita di akhirat kelak. Tetapi sekiranya amalan kita buruk, maka derita dan sengsaralah kita.

Firman Allah dalam surat Al-Qashash 84 :
"Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan."

Firman Allah dalam surat Al-Israa' 72 "Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)."

Menurut pengertian refleksi diatas, kehidupan di akhirat adalah cerminan atau refleksi dari kehidupan manusia didunia. Yang barang siapa menanam kebaikan di dunia, maka kebaikan pula yang akan kita petik di akhirat. Begitu pula sebaliknya, barang siapa menanam keburukan di dunia, maka keburukan pula yang akan kita petik di akhirat.

Penyusun:
CA
SMPIT ABY FDS

LoA (Law of Attraction)

  LoA ( Law of Attraction )   Law of Attraction adalah hukum tarik menarik. Kita menarik sesuatu yang menurut kita sesuai dengan diri k...