Kamis, 18 Juni 2020

Tips Memberikan Penilaian Kepada Siswa Agar Adil

Matematika adalah mata pelajaran yang hingga saat ini sangat terkenal dengan keeksakannya. Hasil jawabannya pasti. Jika jawabannya bukan itu ya salah. Apalagi jika soalnya pilihan ganda, auto mutlak salah ya salah, benar ya benar. Hanya bisa berubah ketika guru salah memberikan pilihan jawaban. Akhirnya bisa direvisi atau jadi bonus deh. Siswa tu bahagianya disini sama bonus. Membahagiakan orang itu berpahala lho. Hehe... canda yaa... Kurang tepat jika diletakkan disini.

Hampir satu tahun mengajar di sebuah sekolah swasta membuat saya berlatih dan terus berlatih bagaimana memberikan nilai yang adil untuk siswa. Objektif atau subjektif? Banyak orang berpandangan bahwa memberikan penilaian itu harus objektif, apalagi untuk mata pelajaran matematika.
Hemmm, tiba-tiba saya teringat salah satu dosen saya saat kuliah di S1. Beliau ini jika mengoreksi hasil ujian dari mahasiswa-mahasiswanya hampir selalu paling akhir. Nilai mata kuliah yang lain sudah keluar, tinggal nilai mata kuliah beliau sendiri yang belum keluar. Bahkan kalau ditagih sama mahasiswanya berdalih jika belum selesai mengoreksi. Dibuat penasaran lah kami. Lama sekali mengoreksinya. Kami ingin segera bisa tahu nilainya.

Usut punya usut, ternyata beliau ini saat mengoreksi tidak hanya objektif melihat hasil pekerjaan mahasiswa-mahasiswanya, melainkan juga menggabungkan subjektivitas. Memberikan nilai pun bukan menggunakan pulpen, apalagi pulpen merah yang jika dilirik saja sudah membuat ngeri-ngeri sedap, tapi menggunakan pensil. Kenapa? Padahal beliau ini seorang doktor, kenapa harus takut memberikan nilai dari hasil pekerjaan mahasiswanya? Hmmm....

Ternyata, beliau ini saat memberikan nilai dengan menggunakan pensil punya maksud agar bisa dihapus lagi jika beliau salah memberikan nilai, tanpa harus mengotori dengan membuat bekas tipe-x di lembar hasil pekerjaan mahasiswanya. Selain itu, subjektivitas beliau gunakan untuk menganalisis bagaimana mahasiswa ini sungguh-sungguh dalam mengerjakan. Mahasiswa kira-kira meyontek atau berusaha mengerjakan sendiri. Mahasiswa yang bersungguh-sungguh mengerjakan sendiri terlihat dari algoritma dalam mengerjakan secara terstruktur dan tentunya tidak sama dengan jawaban mahasiswa yang lain. Mahasiswa yang demikian tentu akan mudah mendapatkan nilai tambahan dari sang dosen. Sedangkan mahasiswa yang terindikasi melakukan kecurangan, bahkan jawabannya mirip atau bahkan sama dengan mahasiswa lain tentu akan berpotensi turunnya nilai meskipun hasil akhir jawabannya benar.

Nhah, belajar dari sinilah saya juga meniru bagaimana memberikan penilaian kepada siswa-siswa saya. Tak hanya dilihat dari sisi objektivitas, tetapi juga subjektivitas. Saya tidak segan memberikan nilai tambahan kepada siswa yang yang memang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan. Semisal KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) adalah 75, kemudian ada siswa mendapatkan nilai 74, maka saya akan analisis lagi jawaban si siswa ini. Jika memenuhi syarat kebaikan, maka saya akan memberikan nilai 75 alias lulus KKM. Meski nantinya juga akan diberikan sedikit materi atau pembahasan tambahan. Akan tetapi, saya juga sangat mudah mengurangi nilai jika siswa saya terindikasi bahkan terbukti melakukan kecurangan. Nilai yang tadinya 74 tetap akan 74 jika setelah dianalisis tidak menunjukkan kebaikan atau konsep algoritma yang dilakukan siswa melenceng dari yang seharusnya, bahkan bisa jadi justru turun dari 74.

Oleh karena itu saya berharap, para pendidik melakukan hal demikian dalam memberikan penilaian agar siswa terlatih untuk menjadi pribadi yang jujur. Pendidik tidak boleh hanya terpaku memaksakan nilai akademik yang tinggi, sedangkan nilai akhlak atau moralnya terabaikan. Saat ini, kita sedang mengalami dekadensi (penurunan kualitas) moral. Guru memiliki peran yang sangat vital untuk berusaha mengubah stigma ini. Semoga kita para guru bisa berhasil membentuk moral anak-anak didik kita menjadi insan yang mulia berakhlakul kharimah. Salah satunya dengan memberikan apa yang sudah menjadi haknya, nilai yang sesuai dengan proses dan hasil kerja kerasnya.
Aamiin...


Yogyakarta, 18 Juni 2020
Nurika Miftahuljannah,M.Pd.

LoA (Law of Attraction)

  LoA ( Law of Attraction )   Law of Attraction adalah hukum tarik menarik. Kita menarik sesuatu yang menurut kita sesuai dengan diri k...