Selasa, 08 November 2016

MAKALAH AL-QUR'AN DAN HADITS - Turunnya Al-Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang masalah
Dalam mempelajari ilmu Al-Quran, ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dan salah satunya adalah bagaimana Al-Quran diturunkan dan bagaimana Al-Quran itu dibukukan pada masa khulafaur Rasyidin. Karena dengan mengetahui bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an kita dapat mengerti bagaimana usaha-usaha para sahabat untuk tetap memelihara Al-Quran.
Secara etimologi Al-Quran berarti qira’at berasal dari kata dasar qara’a yang berarti mengumpulkan dan menghimpun, yaitu menghimpun huruf dan kata yang tersusun sehingga menjadi qira’ah (bacaan) yang bermaknakan maqru’ (sesuatu yang dapat dibaca). Menurut istilah Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malakat Jibril dengan bahasa Arab, diriwayatkan secara mutawatir, merupakan mukjizat dan membacanya merupakan ibadah.
Hadits yaitu semua perkataan, perbuatan, dan taqrir dari Rasulullah. Dalam Ulumul Hadits, kita perlu mengkaji mengenai kedudukan dan fungsi hadits. Sehingga kita dapat menjadikan hadits sebagai hujjah dalam menetapkan hokum-hukum dalam Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Turunnya Al-Qur’an?
2.      Bagaimana tahapan-tahapan turunnya Al-Qur’an?
3.      Apa hikmah turunya A-Qur’an secara brangsur-angsur?
4.      Bagaimana kedudukan dan fungsi hadits
5.      Apa yang dimaksud dengan ke-hujjah-an hadits?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk mengetahui ilmu nuzulul Quran yang meliputi turunnya Al Qur’an (nuzulul Qur’an), serta tahap-tahap turunnya Al-Qur’an. Selain itu, untuk menegtahui hikmah dari turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur. Makalah ini juga dibuat agar penulis dan pembaca dalam memahami kedudukan serta fungsi hadits terhadap Al-Qur’an. Juga untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu hadits dapat dijadikan suatau hujjah dalam menetapkan hokum Islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tahapan Turunnya Alqur’an
1.      Pengertian Turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an dalam bahasa Arab disebut Nuzulul Qur’an, yaitu peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam yakni Nabi Muhammad SAW.
2.      Tahap-Tahap Turunnya Al-qur’an
Tahap-tahap turunnya Al-Qur’an, yaitu:
a.       Tahap Pertama
Diturunkan dari Lauhul Mahfuzh menurut cara dan waktu yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan siapa yang diperlihatkannya akan hal-hal ghaib. Al-Qur’an diturunkan sekaligus dan tidak terbagi-bagi. Dalilnya yaitu :
بل هوا قرأن مجيد . في لوح المحفوظ (البروج:21-22)
Artinya:
“Malahan ia adalah Al-Qur’an yang mulia di Lauhul Mahfuzh” (QS. Al-buruuj:21-22).
Lauhul Mahfuzd ini adalah kitab yang terpelihara sebagimana disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an :
 انه لـقـرأن كريم في كـتاب مكنون لايمسه الا المطـــهــــر ونتنزيل  من رب العـالــــمين (الواقعة:77-80)
Artinya:
“Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.“ (Q.S Al-Waqi‘ah : 77-80).
Berdasarkan ayat ini jumhur mufassirin berpendapat bahwa kitab yang terpelihara itu adalah Lauhul Mahfuzh, yaitu terpelihara dari pendengaran syaithan yang mencuri pendengaran secara sembunyi-sembunyi dan terpelihara dari perubahan dan pergantian. Sedangkan maknun berarti bahwa Alquran terpelihara dari kebatilan. Kedua makna ini berdekatan satu  sama lain. Adapun pembahasan selain dari itu seperti pembahasan tentang hakikat dan keberadaan nya, bagaimana semuanya bisa termaktub didalamnya, dan pena (kalam) apa yang digunakan untuk menulisnya ? hal ini tidak perlu kita imani, sebab tidak ada hadits shahih yang datang dari Nabi menerangkan semua ini. Seandainya ada pernyataan mengenai hal ini itu tentu tidak lain hanya berupa atsar sebagian sahabat yang masih diragukan kebenanranya.
b.      Tahap Kedua
Dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Berdasarkan hasil bacaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa ia diturunkan dalam suatu malam ke langit dunia. Ia disifatkan dengan Lailatil Mubarokah (malam yang diberkati Allah). Malam itu kadang-kadang dinamakan malam qadar atau lailatul qadar. Kejadian itu diturunkan pada bulan Ramadhan dan diturunkan sekaligus. Sebagaimana firman Allah SWT:
ناانزله في ليلة القدر  (القدر:1)
Artinya:
"sesungguhnya kami telah menurunakan (Alquran) pada malam kemuliaan" (Q.S.Al-Qadar:1).
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya pada malam yang diberkahi” (QS Ad-Dukkhan:2).
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
Artinya:
“Bulan Ramadhan yang telah diturunkan padanya Al-Qur’an…” (QS. Al-Baqarah:185).
c.       Tahap Ketiga
Al-Qur’an diturunkan dari Baitul ‘Izzah (langit dunia) ke bumi kepada nabi dan rasul terakhir, yaitu Rasulullah SWT. Ini adalah tahap terakhir yang bercahaya secara keseluruhan bagi semua manusia di bumi. Ia dibawa oleh Jibril berangsur-angsur selama 23 tahun, sesuai kebutuhan dan situasi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Asy-Syu’ara ayat 193 :
“Turun dengannya (Al-Qur’an) malaikat Jibril ke dalam hatimu (Muhammad), supaya engkau menjadi pemberi nasihat, dari hadirat Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui”.

Selain itu terdapat juga Firman-Nya:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ.
Artinya:
“Dan jika sesorang dari orang musyrik hendak bekerja mendapat upah dengan engkau (Muhammad), maka terimalah dia, sehingga dia dapat mendengar kalam Allah” (QS. At-Taubah:6).
Jibril adalah perantara. Diwahyukan Allah kepadanya Al-Qur’an menurut cara yang hanya diketahui oleh Allah SWT saja dan siapa yang dizinkan-Nya mengetahuinya. Sesudah itu, maka Jibril turun dengannya (Al-Qur’an) kepada Rasulullah saw.
Dalil-Dalil lainnya yaitu:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Artinya:
“Al-Qur’an itu kami turunkan ia berangsur-angsur, supaya engkau (Muhammad) bacakan ia kepada manusia perlahan-lahan dan kami turunkan ia sebenar-benarnya atau kesemuanya” (QS. Al-Isra’:106).
            Dalil berupa hadits yakni:
‘Dari Ibnu ‘Abbas dalam hadits marfuu’bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia di malam qadar. Sudah itu, ia diturunkan dalam masa 23 tahun. Sudah itu, dia membacakan, “Tidaklah mereka (orang kafir dan musyrik itu) dating kepada kamu dengan suatu perumpamaan, kecuali kami dating kepada engkau (Muhammad) dengan yang lebih baik penafsirannya. (QS. Al-Furqan:33)”.’
3.      Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Berangsur-Angsur
Turunnya Al Qur’an secara berangsur-angsur tidak hanya disebabkan karena Al Qur’an itu lebih besar dan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya, melainkan juga karena adanya beberapa hikmah, sehingga Al Qur’an itu di turunkan secara berangsur-angsur. Hikmah tersebut antara lain ialah:
a.       Untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. Firman Allah:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚكَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِه فُؤَادَكَ ۖوَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا


Artinya:
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan:32).
b.      Untuk memudahkan menghafal dan memahaminya.
c.       Sesuai dengan peristiwa, kejadian, dan berangsur-angsur menurunkan hokum syari’at.
d.      Untuk menghadang lawan dan melemahkannya.
e.       Pendidikan bagi Rasul saw, agar beliau sabar menghadapi hal yang menyakitkan dari orang-orang musyrik , meneguhkan hati orang mukmin, dan memberikan kepada mereka perisai berupa keteguhan, kesabaran, dan keyakinan.
f.       Sebagai dalil yang tuntas atau pasti, bahwa Al-Qur’an benar dari Allah SWT.
B.     Kedudukan Hadits
Seluruh umat islam sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran agama islam. Keharusan mengikuti hadits bagi umat islam (baik berupa perintah atau larangannya) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal ini terjadi karena hadits merupakan mubayyin ( penjelas ) terhadap Al-qur’an, dan merupakan sumber hokum Islam setelah Al-Qur’an.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kedudukan hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam yaitu:
Dalam surat al-nisa’ ayat 136
يا أيها الذين آمنوا آمنوا بالله ورسوله والكتاب الذي نزل على رسوله والكتاب الذي أنزل من قبل ومن يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر فقد ضل ضلالا بعيدا
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Dalam surat Ali Imron ayat 32 sebagai berikut :
قل أطيعوا الله والرسول فإن تولوا فإن الله لا يحب الكافرين
Artinya:
‘Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".’
Dalam surat al-Hasyr ayat 7 Allah juga berfirman:
ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى فلله وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب
Artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Dari beberapa ayat Al-qur’an diatas  dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa ketaatan kepada Rasul Saw adalah mutlak, sebagaimana ketaatan kepada Allah.
Pada surat al-nisa ayat 80 disebutkan :
من يطع الرسول فقد أطاع الله ومن تولى فما أرسلناك عليهم حفيظا


Artinya:
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
Ungkapan pada ayat diatas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan hadits sebagai sumber ajaran islam.
Rasul bersabda:
“ Saya tinggalkan dua perkara yang kamu tidak akan tersesat apabila berpegang pada keduanya, yakni Kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah nabinya (Hadits). (HR. Malik).
Dalam Hadits lain Rasul Saw, bersabda:
“ Kalian Wajib berpegang teguh dengan sunah-ku dan sunnah khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya  “ (HR. Abu daud).
C.    Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-qur’an dan hadits sebagai sumber ajaran islam tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber hukum memuat ajaran –ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Disini hadits berfungsi sebagai penjelas isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Ini sesuai denga firman Allah surat al-Nahl ayat 44 yang berbunyi:
بالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون


Artinya:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Fungsi hadits sebagai penjelas Al-Qur’an itu bermacam-macam. Malik ibn Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al tafshil, dan bayan al-basth, dan bayan al-tasyri. Al Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu, bayan al-tafshil, bayan al-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’ dan bayan al-nasakh. Dalam al-Risalah Syafi’i menambahkan dengan bayan al-isyarah. Ahmad ibn Hambal menyebutkan empat fungsi yaitu, bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’ dan bayan al takhsis.
1.      Bayan al-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Maksud bayan ini yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan didalam Al-qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya  untuk memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Seperti contoh keharusan berwudhu sebelum shalat seperti yang diterangkan oleh surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Ayat diatas di taqrir oleh hadits yang dikeluarkan al-Bukhari dan Abu Hurairah yang berbunyi, “Rasul saw bersabda, “Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhlu”. (HR. Bukhari).
2.      Bayan al-tafsir
Maksud bayan al-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut. Seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlaq dan am, maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih mutlaq, dam memberikan takhshish ayat yang masih umum.


a.        Merinci ayat-ayat yang mujmal
Ayat yang mujmal artinya ayat yang ringkas atau singkat dan mengandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat mujmal yang memerlukan perincian. Sebagai contoh adalah ayat-ayat tentang perintah Allah untuk mengerjakan shalat,puasa, zakat, jual beli, nikah, qishash, dan hudud. Diantara contoh perincian tersebut dapat dilihat pada hadits yang berbunyi, “Shalatlah sebagaimana kalian melihat saya shalat”
Perintah mengikuti shalatnya sebagaimana dalam hadits tersebut, Rasul kemudian memberi contoh shalat yang sempurna, bahkan nabi melengkapi dengan kegiatan lain yang harus dilakukan sebelum dan sesudah shalat. Dengan demikian hadits tersebut menjelaskan tentang bagaimana seharusnya shalat itu dilakukan, sebagai perincian dari Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
b.      Mentaqyid ayat-ayat yang muthlaq
Kata muthlaq artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya.  Mentaqyid yang muthlaq artinyamembatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Penjelasan Rasul yang berupa mentaqyid ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlaq antara lain dapat dilihat dari sabda rasul yang berbunyi, “ Tangan pencuri tidak boleh dipotong melainkan pada pencuri senilai seperempat dinar atau lebih”. (HR. Muslim).
Hadits ini mentaqyid ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
3.      Bayan al-Tasyri’
Kata al-tasyri’ artinya pembuatan mewujudkan, atau menetapkan aturan dan hukum. Maka yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum, aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an.
Banyak hadits Rasul yang termasuk kedalam kelompok ini, diantaranya yaitu hukum tentang ukuran zakat dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan bayan za’id ‘ala al-Kitab al- Karim (tambahan terhadap nash al-Qur’an). Disebut tambahan karena sebenarnya didalam  Al-Qur’an ketentuan-ketentuan pokok sudah ada, sehingga datangnya hadits-hadits itu hanya sebagai tambahan terhadap ketentuan pokok tersebut. Hal ini dapat dilihat, misalnya mengenai hadits tentang ketentuan diyat.
Dalam al-Qur’an masalah ini sudah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada sura al-Nisa’ ayat 92 yang berbunyi.
وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطئا ومن قتل مؤمنا خطئا فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله إلا أن يصدقوا فإن كان من قوم عدو لكم وهو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة وإن كان من قوم بينكم وبينهم ميثاق فدية مسلمة إلى أهله وتحرير رقبة مؤمنة فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين توبة من الله وكان الله عليما حكيما
Artinya:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Hadits Rasul yang termasuk bayan tasyri’ ini wajib diamalkan seperti kewajiban mengamalkan bayan yang lainnya. Ketiga bayan telah disepakati oleh sebagian besar ulama meskipun untuk bayan ketiga masih dipersoalkan. Untuk bayan al-naskh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui bayan ini dan adapula yang menolaknya. Yang menerima antara lain yaitu jumhur ulama mutakallim, baik Mu’tazilah, Asy’ariah, malikiyah, hanafiyah, Ibn Hazm dan Dzahiriah, sedangkan yang menolak antara lain al_syafi’i dan mayoritas ulama pengikutnya, serta mayoritas ulama Dzahiriah’.
4.      Bayan al-Nasakh
Kata al-nasakh secara bahasa yaitu bermacam-macam. Bisa berarti al-ibthal (membatalkan), atau al-izalah (menghilangkan), atau al-tahwil (memindahkan), atau tagyir (mengubah). Perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan al-nasakh terjadi karena perbedaan memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Misalnya seperti kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat seperti yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi.
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Ayat diatas dinasakh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.
Untuk bayan al-naskh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui bayan ini dan adapula yang menolaknya. Yang menerima antara lain yaitu jumhur ulama mutakallim, baik Mu’tazilah, Asy’ariah, malikiyah, hanafiyah, Ibn Hazm dan Dzahiriah, sedangkan yang menolak antara lain al_syafi’i dan mayoritas ulama pengikutnya, serta mayoritas ulama Dzahiriah’.
D.    Ke-hujjah-an Hadits
Yang dimaksud dengan ke-hujjah-an hadis adalah keadaan hadis yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (syar’i). Ke-hujjah­-an hadist sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW.
Selain itu keabsahan hadis sebagi dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa Beliau tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat), kecuali berdasarkan wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, hadis adalah wahyu dari Allah SWT dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Hadits adalah dalil syariat tak ubahnya seperti al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa di dalam al-Qur’an didapati perintah-perintah, tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya seperti sholat, haji, puasa dan sebagainya. Dengan hal yang demikian maka umat muslim harus melihat kepada hadits.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nuzulul Qur’an
Turunnya Al-Qur’an dalam bahasa Arab disebut Nuzulul Qur’an, yaitu peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam yakni Nabi Muhammad SAW.
Tahapan-tahapan turunnya Al-qur’an:
a.       Tahap Pertama : diturunkan dari Lauhul Mahfuzh.
d.      Tahap Kedua : dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia.
e.       Tahap Ketiga : diturunkan dari Baitul ‘Izzah (langit dunia) ke bumi kepada nabi dan rasul terakhir, yaitu Rasulullah SWT secara berangsur-angsur.
Hikmah turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur:
a.       Untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. Firman Allah:
b.      Untuk memudahkan menghafal dan memahaminya.
c.       Sesuai dengan peristiwa, kejadian, dan berangsur-angsur menurunkan hokum syari’at.
d.      Untuk menghadang lawan dan melemahkannya.
e.       Pendidikan bagi Rasul saw, agar beliau sabar menghadapi hal yang menyakitkan dari orang-orang musyrik , meneguhkan hati orang mukmin, dan memberikan kepada mereka perisai berupa keteguhan, kesabaran, dan keyakinan.
f.       Sebagai dalil yang tuntas atau pasti, bahwa Al-Qur’an benar dari Allah SWT.
2.      Kedudukan, Fungsi, dan Kehujjahan Hadits
Seluruh umat islam sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran agama islam. Keharusan mengikuti hadits bagi umat islam (baik berupa perintah atau larangannya) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal ini terjadi karena hadits merupakan mubayyin ( penjelas ) terhadap Al-qur’an, dan merupakan sumber hokum Islam setelah Al-Qur’an.
Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yaitu, bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’ dan bayan al-nasak.
Yang dimaksud dengan ke-hujjah-an hadis adalah keadaan hadis yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (syar’i). Ke-hujjah­-an hadist sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW.

DAFTAR PUSTAKA

Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Studi Al-Quran Al-Karim, Prof.Dr. Syeikh Muhammad. Pustaka Setia. Cet.I. 1992.
Zainuddin, DKK. Studi Hadits. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.
Fatchurrahman, Ikhtishar Mustalahul Hadits.Bandung: al-Ma’arif, 1987.
Mujiyo. ‘Ulum Al-Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LoA (Law of Attraction)

  LoA ( Law of Attraction )   Law of Attraction adalah hukum tarik menarik. Kita menarik sesuatu yang menurut kita sesuai dengan diri k...