BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah
Dalam mempelajari ilmu Al-Quran,
ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dan salah satunya adalah
bagaimana Al-Quran diturunkan dan bagaimana Al-Quran itu dibukukan pada masa
khulafaur Rasyidin. Karena dengan mengetahui bagaimana proses pengumpulan
Al-Qur’an kita dapat mengerti bagaimana usaha-usaha para sahabat untuk tetap
memelihara Al-Quran.
Secara etimologi Al-Quran berarti
qira’at berasal dari kata dasar qara’a yang berarti mengumpulkan dan
menghimpun, yaitu menghimpun huruf dan kata yang tersusun sehingga menjadi
qira’ah (bacaan) yang bermaknakan maqru’ (sesuatu yang dapat dibaca). Menurut
istilah Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
melalui perantara malakat Jibril dengan bahasa Arab, diriwayatkan secara
mutawatir, merupakan mukjizat dan membacanya merupakan ibadah.
Hadits yaitu semua perkataan,
perbuatan, dan taqrir dari Rasulullah. Dalam Ulumul Hadits, kita perlu mengkaji
mengenai kedudukan dan fungsi hadits. Sehingga kita dapat menjadikan hadits
sebagai hujjah dalam menetapkan hokum-hukum dalam Islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Turunnya Al-Qur’an?
2. Bagaimana tahapan-tahapan turunnya
Al-Qur’an?
3. Apa hikmah turunya A-Qur’an secara
brangsur-angsur?
4. Bagaimana kedudukan dan fungsi hadits
5. Apa yang dimaksud dengan ke-hujjah-an
hadits?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulis membuat makalah ini adalah untuk mengetahui ilmu nuzulul Quran yang
meliputi turunnya Al Qur’an (nuzulul Qur’an), serta tahap-tahap turunnya Al-Qur’an.
Selain itu, untuk menegtahui hikmah dari turunnya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur. Makalah ini juga dibuat agar penulis dan pembaca dalam
memahami kedudukan serta fungsi hadits terhadap Al-Qur’an. Juga untuk
mengetahui bagaimana dan kapan suatu hadits dapat dijadikan suatau hujjah dalam
menetapkan hokum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tahapan Turunnya Alqur’an
1.
Pengertian Turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an dalam bahasa
Arab disebut Nuzulul Qur’an, yaitu peristiwa
penting penurunan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam yakni Nabi Muhammad SAW.
2.
Tahap-Tahap Turunnya Al-qur’an
Tahap-tahap turunnya Al-Qur’an,
yaitu:
a. Tahap Pertama
Diturunkan dari Lauhul Mahfuzh
menurut cara dan waktu yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan siapa yang
diperlihatkannya akan hal-hal ghaib. Al-Qur’an diturunkan sekaligus dan tidak
terbagi-bagi. Dalilnya yaitu :
بل هوا قرأن مجيد . في لوح المحفوظ
(البروج:21-22)
Artinya:
“Malahan ia
adalah Al-Qur’an yang mulia di Lauhul Mahfuzh” (QS. Al-buruuj:21-22).
Lauhul
Mahfuzd ini adalah kitab yang terpelihara sebagimana disebutkan oleh Allah
dalam Al-Qur’an :
انه
لـقـرأن كريم في كـتاب مكنون لايمسه الا المطـــهــــر ونتنزيل من رب
العـالــــمين (الواقعة:77-80)
Artinya:
“Sesungguhnya
Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara
(Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.“ (Q.S Al-Waqi‘ah : 77-80).
Berdasarkan
ayat ini jumhur mufassirin berpendapat bahwa kitab yang terpelihara itu adalah Lauhul Mahfuzh, yaitu terpelihara dari
pendengaran syaithan yang mencuri pendengaran secara sembunyi-sembunyi dan
terpelihara dari perubahan dan pergantian. Sedangkan maknun berarti
bahwa Alquran terpelihara dari kebatilan. Kedua makna ini berdekatan satu
sama lain. Adapun pembahasan selain dari itu seperti pembahasan tentang hakikat
dan keberadaan nya, bagaimana semuanya bisa termaktub didalamnya, dan pena
(kalam) apa yang digunakan untuk menulisnya ? hal ini tidak perlu kita imani,
sebab tidak ada hadits shahih yang datang dari Nabi menerangkan semua ini.
Seandainya ada pernyataan mengenai hal ini itu tentu tidak lain hanya berupa
atsar sebagian sahabat yang masih diragukan kebenanranya.
b. Tahap
Kedua
Dari
Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Berdasarkan hasil bacaan
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa ia
diturunkan dalam suatu malam ke langit dunia. Ia disifatkan dengan Lailatil
Mubarokah (malam yang diberkati Allah). Malam itu kadang-kadang dinamakan malam
qadar atau lailatul qadar. Kejadian itu diturunkan pada bulan Ramadhan dan
diturunkan sekaligus. Sebagaimana firman Allah SWT:
ناانزله في ليلة القدر (القدر:1)
Artinya:
"sesungguhnya
kami telah menurunakan (Alquran) pada malam kemuliaan" (Q.S.Al-Qadar:1).
“Sesungguhnya
kami telah menurunkannya pada malam yang diberkahi” (QS Ad-Dukkhan:2).
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ
Artinya:
“Bulan
Ramadhan yang telah diturunkan padanya Al-Qur’an…” (QS. Al-Baqarah:185).
c.
Tahap
Ketiga
Al-Qur’an diturunkan dari Baitul ‘Izzah (langit
dunia) ke bumi kepada nabi dan rasul terakhir, yaitu Rasulullah SWT. Ini adalah
tahap terakhir yang bercahaya secara keseluruhan bagi semua manusia di bumi. Ia
dibawa oleh Jibril berangsur-angsur selama 23 tahun, sesuai kebutuhan dan situasi.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Asy-Syu’ara ayat 193 :
“Turun dengannya (Al-Qur’an) malaikat Jibril ke dalam hatimu
(Muhammad), supaya engkau menjadi pemberi nasihat, dari hadirat Yang Maha
Bijaksana dan Maha Mengetahui”.
Selain itu terdapat juga Firman-Nya:
وَإِنْ
أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ
اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ.
Artinya:
“Dan jika
sesorang dari orang musyrik hendak bekerja mendapat upah dengan engkau
(Muhammad), maka terimalah dia, sehingga dia dapat mendengar kalam Allah” (QS.
At-Taubah:6).
Jibril adalah perantara. Diwahyukan
Allah kepadanya Al-Qur’an menurut cara yang hanya diketahui oleh Allah SWT saja
dan siapa yang dizinkan-Nya mengetahuinya. Sesudah itu, maka Jibril turun
dengannya (Al-Qur’an) kepada Rasulullah saw.
Dalil-Dalil lainnya yaitu:
وَقُرْآنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Artinya:
“Al-Qur’an itu
kami turunkan ia berangsur-angsur, supaya engkau (Muhammad) bacakan ia kepada
manusia perlahan-lahan dan kami turunkan ia sebenar-benarnya atau kesemuanya”
(QS. Al-Isra’:106).
Dalil
berupa hadits yakni:
‘Dari Ibnu ‘Abbas dalam hadits marfuu’bahwa
Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia di malam qadar. Sudah itu, ia
diturunkan dalam masa 23 tahun. Sudah itu, dia membacakan, “Tidaklah mereka
(orang kafir dan musyrik itu) dating kepada kamu dengan suatu perumpamaan,
kecuali kami dating kepada engkau (Muhammad) dengan yang lebih baik
penafsirannya. (QS. Al-Furqan:33)”.’
3.
Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara
Berangsur-Angsur
Turunnya Al Qur’an secara berangsur-angsur tidak hanya
disebabkan karena Al Qur’an itu lebih besar dan kitab-kitab yang diturunkan
Allah sebelumnya, melainkan juga karena adanya beberapa hikmah, sehingga Al
Qur’an itu di turunkan secara berangsur-angsur. Hikmah tersebut antara lain
ialah:
a. Untuk meneguhkan hati
Rasulullah saw. Firman Allah:
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
ۚكَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِه فُؤَادَكَ ۖوَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Artinya:
“Berkatalah orang-orang
yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan:32).
b. Untuk memudahkan menghafal dan
memahaminya.
c. Sesuai dengan peristiwa, kejadian, dan
berangsur-angsur menurunkan hokum syari’at.
d. Untuk menghadang lawan dan
melemahkannya.
e. Pendidikan bagi Rasul saw, agar beliau
sabar menghadapi hal yang menyakitkan dari orang-orang musyrik , meneguhkan
hati orang mukmin, dan memberikan kepada mereka perisai berupa keteguhan, kesabaran,
dan keyakinan.
f. Sebagai dalil yang tuntas atau pasti,
bahwa Al-Qur’an benar dari Allah SWT.
B.
Kedudukan Hadits
Seluruh
umat islam sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran agama islam.
Keharusan mengikuti hadits bagi umat islam (baik berupa perintah atau
larangannya) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal ini terjadi
karena hadits merupakan mubayyin ( penjelas ) terhadap Al-qur’an, dan
merupakan sumber hokum Islam setelah Al-Qur’an.
Dalil-dalil
yang menunjukkan bahwa kedudukan hadits merupakan salah satu sumber ajaran
Islam yaitu:
Dalam
surat al-nisa’ ayat 136
يا أيها الذين آمنوا آمنوا بالله
ورسوله والكتاب الذي نزل على رسوله والكتاب الذي أنزل من قبل ومن يكفر بالله
وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر فقد ضل ضلالا بعيدا
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang
siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.”
Dalam
surat Ali Imron ayat 32 sebagai berikut :
قل أطيعوا الله والرسول فإن تولوا فإن
الله لا يحب الكافرين
Artinya:
‘Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".’
Dalam
surat al-Hasyr ayat 7 Allah juga berfirman:
ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى
فلله وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل كي لا يكون دولة بين الأغنياء
منكم وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد
العقاب
Artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Dari
beberapa ayat Al-qur’an diatas dapat
ditarik suatu pemahaman, bahwa ketaatan kepada Rasul Saw adalah mutlak,
sebagaimana ketaatan kepada Allah.
Pada
surat al-nisa ayat 80 disebutkan :
من يطع
الرسول فقد أطاع الله ومن تولى فما أرسلناك عليهم حفيظا
Artinya:
“Barang siapa yang menaati Rasul
itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
Ungkapan pada ayat diatas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan hadits
sebagai sumber ajaran islam.
Rasul bersabda:
“ Saya tinggalkan dua perkara yang
kamu tidak akan tersesat apabila berpegang pada keduanya, yakni Kitabullah
(al-Qur’an) dan sunnah nabinya (Hadits). (HR. Malik).
Dalam Hadits lain Rasul Saw, bersabda:
“ Kalian Wajib berpegang teguh
dengan sunah-ku dan sunnah khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang
teguhlah kamu sekalian dengannya “ (HR.
Abu daud).
C.
Fungsi
Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-qur’an dan hadits sebagai sumber ajaran islam tidak
dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber hukum memuat ajaran –ajaran yang
bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci.
Disini hadits berfungsi sebagai penjelas isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Ini
sesuai denga firman Allah surat al-Nahl ayat 44 yang berbunyi:
بالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر
لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Artinya:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”.
Fungsi hadits sebagai penjelas Al-Qur’an itu
bermacam-macam. Malik ibn Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan
al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al tafshil, dan bayan al-basth, dan
bayan al-tasyri. Al Syafi’i menyebutkan lima fungsi yaitu, bayan
al-tafshil, bayan al-takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’ dan bayan
al-nasakh. Dalam al-Risalah Syafi’i menambahkan dengan bayan al-isyarah.
Ahmad ibn Hambal menyebutkan empat fungsi yaitu, bayan al-ta’kid, bayan
al-tafsir, bayan al-tasyri’ dan bayan al takhsis.
1. Bayan al-Taqrir
Bayan al-taqrir disebut
juga bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Maksud bayan ini yaitu
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan didalam Al-qur’an. Fungsi
hadits dalam hal ini hanya untuk
memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Seperti contoh keharusan berwudhu sebelum
shalat seperti yang diterangkan oleh surat al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
يا أيها
الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا
برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين وإن كنتم جنبا فاطهروا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو
جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا
فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم
وليتم نعمته عليكم لعلكم تشكرون
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur”.
Ayat
diatas di taqrir oleh hadits yang dikeluarkan al-Bukhari dan Abu Hurairah yang
berbunyi, “Rasul saw bersabda, “Tidak
diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhlu”. (HR. Bukhari).
2. Bayan al-tafsir
Maksud
bayan al-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan
perincian atau penjelasan lebih lanjut. Seperti pada ayat-ayat yang mujmal,
mutlaq dan am, maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian (tafshil)
dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang masih mujmal, memberikan
taqyid ayat-ayat yang masih mutlaq, dam memberikan takhshish ayat yang masih
umum.
a. Merinci ayat-ayat yang mujmal
Ayat
yang mujmal artinya ayat yang ringkas atau singkat dan mengandung banyak makna
yang perlu dijelaskan. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat mujmal yang
memerlukan perincian. Sebagai contoh adalah ayat-ayat tentang perintah Allah
untuk mengerjakan shalat,puasa, zakat, jual beli, nikah, qishash, dan hudud.
Diantara contoh perincian tersebut dapat dilihat pada hadits yang berbunyi, “Shalatlah sebagaimana kalian melihat saya
shalat”
Perintah
mengikuti shalatnya sebagaimana dalam hadits tersebut, Rasul kemudian memberi
contoh shalat yang sempurna, bahkan nabi melengkapi dengan kegiatan lain yang
harus dilakukan sebelum dan sesudah shalat. Dengan demikian hadits tersebut
menjelaskan tentang bagaimana seharusnya shalat itu dilakukan, sebagai
perincian dari Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة واركعوا
مع الراكعين
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah
beserta orang-orang yang rukuk”.
b. Mentaqyid ayat-ayat yang muthlaq
Kata
muthlaq artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya,
dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Mentaqyid yang muthlaq artinyamembatasi
ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat keadaan, atau syarat-syarat tertentu.
Penjelasan Rasul yang berupa mentaqyid ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlaq
antara lain dapat dilihat dari sabda rasul yang berbunyi, “ Tangan pencuri tidak boleh dipotong melainkan pada pencuri senilai
seperempat dinar atau lebih”. (HR. Muslim).
Hadits ini
mentaqyid ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
3. Bayan al-Tasyri’
Kata al-tasyri’ artinya pembuatan
mewujudkan, atau menetapkan aturan dan hukum. Maka yang dimaksud bayan
al-tasyri’ adalah penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan atau
menetapkan suatu hukum, aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam
al-Qur’an.
Banyak hadits Rasul yang termasuk
kedalam kelompok ini, diantaranya yaitu hukum tentang ukuran zakat dan hukum
tentang hak waris bagi seorang anak. Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga
dengan bayan za’id ‘ala al-Kitab al- Karim (tambahan terhadap nash al-Qur’an).
Disebut tambahan karena sebenarnya didalam
Al-Qur’an ketentuan-ketentuan pokok sudah ada, sehingga datangnya hadits-hadits
itu hanya sebagai tambahan terhadap ketentuan pokok tersebut. Hal ini dapat
dilihat, misalnya mengenai hadits tentang ketentuan diyat.
Dalam
al-Qur’an masalah ini sudah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada sura
al-Nisa’ ayat 92 yang berbunyi.
وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خطئا
ومن قتل مؤمنا خطئا فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة إلى أهله إلا أن يصدقوا فإن كان
من قوم عدو لكم وهو مؤمن فتحرير رقبة مؤمنة وإن كان من قوم بينكم وبينهم ميثاق
فدية مسلمة إلى أهله وتحرير رقبة مؤمنة فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين توبة من
الله وكان الله عليما حكيما
Artinya:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari
kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Hadits
Rasul yang termasuk bayan tasyri’ ini wajib diamalkan seperti kewajiban
mengamalkan bayan yang lainnya. Ketiga bayan telah disepakati oleh sebagian
besar ulama meskipun untuk bayan ketiga masih dipersoalkan. Untuk bayan
al-naskh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui bayan ini dan adapula
yang menolaknya. Yang menerima antara lain yaitu jumhur ulama mutakallim, baik
Mu’tazilah, Asy’ariah, malikiyah, hanafiyah, Ibn Hazm dan Dzahiriah, sedangkan
yang menolak antara lain al_syafi’i dan mayoritas ulama pengikutnya, serta
mayoritas ulama Dzahiriah’.
4. Bayan al-Nasakh
Kata
al-nasakh secara bahasa yaitu bermacam-macam. Bisa berarti al-ibthal
(membatalkan), atau al-izalah (menghilangkan), atau al-tahwil
(memindahkan), atau tagyir (mengubah). Perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan bayan al-nasakh terjadi karena perbedaan memahami arti nasakh
dari sudut kebahasaan. Misalnya seperti kewajiban melakukan wasiat kepada kaum
kerabat dekat seperti yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi.
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك
خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Ayat
diatas dinasakh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli
waris tidak boleh dilakukan wasiat.
Untuk
bayan al-naskh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui bayan ini dan
adapula yang menolaknya. Yang menerima antara lain yaitu jumhur ulama
mutakallim, baik Mu’tazilah, Asy’ariah, malikiyah, hanafiyah, Ibn Hazm dan
Dzahiriah, sedangkan yang menolak antara lain al_syafi’i dan mayoritas ulama
pengikutnya, serta mayoritas ulama Dzahiriah’.
D.
Ke-hujjah-an Hadits
Yang
dimaksud dengan ke-hujjah-an hadis adalah keadaan hadis yang wajib
dijadikan hujjah atau dasar hukum (syar’i). Ke-hujjah-an hadist
sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang
menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW.
Selain
itu keabsahan hadis sebagi dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy
yang menyatakan, bahwa Beliau tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks
syariat), kecuali berdasarkan wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, hadis
adalah wahyu dari Allah SWT dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Hadits
adalah dalil syariat tak ubahnya seperti al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
bahwa di dalam al-Qur’an didapati perintah-perintah, tetapi tidak disertakan
bagaimana pelaksanaannya seperti sholat, haji, puasa dan sebagainya. Dengan hal
yang demikian maka umat muslim harus melihat kepada hadits.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Nuzulul Qur’an
Turunnya
Al-Qur’an dalam bahasa Arab disebut Nuzulul Qur’an, yaitu peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam yakni Nabi Muhammad SAW.
Tahapan-tahapan
turunnya Al-qur’an:
a. Tahap Pertama : diturunkan dari Lauhul
Mahfuzh.
d. Tahap
Kedua : dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia.
e.
Tahap
Ketiga : diturunkan dari Baitul ‘Izzah (langit dunia) ke bumi kepada nabi dan
rasul terakhir, yaitu Rasulullah SWT secara berangsur-angsur.
Hikmah turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur:
a. Untuk meneguhkan hati
Rasulullah saw. Firman Allah:
b. Untuk memudahkan menghafal dan
memahaminya.
c. Sesuai dengan peristiwa, kejadian, dan
berangsur-angsur menurunkan hokum syari’at.
d. Untuk menghadang lawan dan
melemahkannya.
e. Pendidikan bagi Rasul saw, agar beliau
sabar menghadapi hal yang menyakitkan dari orang-orang musyrik , meneguhkan
hati orang mukmin, dan memberikan kepada mereka perisai berupa keteguhan,
kesabaran, dan keyakinan.
f. Sebagai dalil yang tuntas atau pasti,
bahwa Al-Qur’an benar dari Allah SWT.
2. Kedudukan, Fungsi, dan
Kehujjahan Hadits
Seluruh
umat islam sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran agama islam.
Keharusan mengikuti hadits bagi umat islam (baik berupa perintah atau
larangannya) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal ini terjadi
karena hadits merupakan mubayyin ( penjelas ) terhadap Al-qur’an, dan
merupakan sumber hokum Islam setelah Al-Qur’an.
Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yaitu, bayan
al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’ dan bayan al-nasak.
Yang
dimaksud dengan ke-hujjah-an hadis adalah keadaan hadis yang wajib
dijadikan hujjah atau dasar hukum (syar’i). Ke-hujjah-an hadist
sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang
menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Masyhur,
Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Studi Al-Quran Al-Karim, Prof.Dr. Syeikh
Muhammad. Pustaka Setia. Cet.I. 1992.
Zainuddin, DKK. Studi Hadits. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, 2011.
Fatchurrahman, Ikhtishar
Mustalahul Hadits.Bandung: al-Ma’arif, 1987.
Mujiyo. ‘Ulum Al-Hadits. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar