MAKALAH
EVALUASI
KURIKULUM
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Telaah
Kurikulum Pendidikan Matematika
Dosen Pengampu :
Danuri, M. Pd.
Disusun Oleh:
1. IXI JANNATAN
|
|
2. UMI MAULIDA
|
12600010
|
3. ULIN NIHAYAH
|
12600026
|
4. NURIKA MIFTAHUL
JANNAH
|
12600028
|
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan
tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum.
Evaluasi menjadi bagian integral dari kurikulum. Evaluasi menjadi bagian dari
sistem manajemen, yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian
pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka kita
tidak akan bisa
mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan
serta hasilnya. Tapi, dengan adanya evaluasi,
kita dapat menjadikan hasil yang diperoleh sebagai balikan (feed-back) dalam memperbaiki dan
menyempurnakan kurikulum. Hasil-hasil kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang
kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan
menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan
model kurikulum yang digunakan.
Selama ini model kurikulum yang
berlaku adalah model kurikulum yang bersifat akademik. Kurikulum yang
demikian kurang mampu meningkatkan kemampuan peserta didik secara optimal.
Hal ini terbukti dari rendahnya kualitas pendidikan kita dibandingkan
dengan negara lain. Selain itu, implementasi kurikulum akademik tidak
mampu memberikan nilai etika, moral, dan nilai-nilai yang berlaku dalam
kehidupan. Maka dengan adanya evaluasi diharapkan dapat memperbaiki
aspek-aspek tersebut sehingga model kurikulum yang diterapkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan
di atas, maka kami akan mengkaji mengenai pengertian evaluasi kurikulum,
peranan evaluasi kurikulum dan model-model evaluasi kurikulum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan evaluasi dan
kurikulum?
2. Bagaimana implementasi dan evaluasi
kurikulum?
3. Apa peranan evaluasi kurikulum?
4. Apa yang dimaksud ujian sebagai evaluasi
sosial?
5. Bagaimana perbandingan model-model
evaluasi kurikulum?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian evaluasi dan
kurikulum
2. Untuk mengetahui implementasi dan
evaluasi kurikulum
3. Untuk mengetahui peranan evaluasi
kurikulum
4. Untuk mengetahui maksud ujian sebagai
evaluasi social
5. Untuk mengetahui perbandingan
model-model evaluasi kurikulum
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Evaluasi dan Kurikulum
Evaluasi kurikulum memegang peranan
penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada
pengambilan keputusan dalam kurikulum. Dalam
pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan
tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum.
Hasil yang diperoleh dapat dijadikan balikan (feed-back) bagi guru dalam memperbaiki dan menyempurnakan
kurikulum.
Adapun
pemahaman tentang evaluasi kurikulum dapat berbeda-beda sesuai dengan
pengertian kurikulum yang beragam menurut para
pakar kurikulum.
Hamid Hasan (2009:41) mengartikan evaluasi sebagai usaha sistematis
mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai
pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks
tertentu. Menurut Tyler (dalam Muhammad Zaini, 2009: 143) menyatakan bahwa
evaluasi adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah tercapai
atau terealisasikan.
Sedangkan
pengertian evaluasi menurut Rutman and Mowbray (1983) ialah penggunaan metode
ilmiah untuk menilai implementasi dan outcomes
suatu program yang berguna untuk proses membuat keputusan. Chelimsky (1989)
mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk
menilai rancangan, implementasi dan efektivitas suatu program. Menurut Sukmadinata (2009:173),
“Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus untuk
mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang cukup luas, mulai
dari yang bersifat sangat informal sampai dengan yang sangat formal.”
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah penerapan
prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan
efektivitas suatu program. Evaluasi
adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Evaluasi
dalam pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses dalam usaha
untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk membuat keputusan akan perlu tidaknya memperbaiki
sistem pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ditetapkan (Muhammad
Zaini, 2009:142).
Sedangkan pengertian kurikulum adalah sebagai berikut:
a. Kurikulum sebagaimana
yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
b. Menurut Grayson (1978),
kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (outcomes) yang diharapkan dari suatu
pembelajaran.
c. Menurut Hilda Taba
(dalam Muhammad Zaini, 2009: 6), kurikulum
adalah rencana pembelajaran yang berkaitan dengan proses dan pengembangan
individu anak didik. Kurikulum merupakan seperangkat rencana yang menjadi
pedoman dan pegangan dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, pengertian evaluasi
kurikulum adalah penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid
dan reliabel
untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah
dijalankan. Atau, evaluasi kurikulum adalah suatu tindakan
pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan pertimbangan
dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembang kurikulum dalam
rangka menentukan keefektifan kurikulum.
Pada dasarnya, evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang memiliki hubungan
sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan kurikulum bersifat organis, dan
prosesnya secara evalusioner. Menurut Tyler (dalam Muhammad Zaini, 2009:144)
berpendapat bahwa evaluasi kurikulum pada dasarnya adalah suatu proses untuk
mengecek keberlakuan kurikulum yang harus diterapkan dalam empat tahap. Tahap
pertama adalah evaluasi terhadap tujuan pembelajaran, tahap kedua
adalah evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum atau proses pembelajaran
yang meliputi metode, media, dan evaluasi pembelajaran, tahap ketiga
adalah evaluasi terhadap efektivitas baik efektivitas terhadap waktu,
tenaga, dan biaya, serta tahap keempat adalah evaluasi terhadap hasil
yang telah dicapai.
B. Implementasi
dan Evaluasi Kurikulum
Dalam
kurikulum, terdapat perbedaan penekanan. Perbedaan penekanan dalam kurikulum
tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan dan dalam
pengembangannya.
1. Konsep
kurikulum yang menekankan isi memberikan perhatian besar pada analisis
pengetahuan baru yang ada, sangat mengutamakan peranan desiminasi, meskipun seandainya kurikulum itu kurang
baik, mereka dapat memaksanya melalui jalur birokrasi.
2.
Konsep situasi menuntut penilaian secara rinci tentang lingkungan belajar, sangat mementingkan penyiapan unsur-unsur yang terkait.
3.
Konsep organisasi memberi perhatian besar pada struktur
belajar. Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah-langkah
implementasi selanjutnya, strategi
penyebarannya sangat mengutamakan latihan guru.
Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan waktu
mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan tujuan pembelajaran yang
cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi, waktu untuk mempersiapkannya
hampir sama dengan kurikulum yang menekankan isi.
Perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran
kurikulum, juga menimbulkan perbedaan dalam rancangan evaluasi.
1. Model evaluasi
yang bersifat komparatif menekankan pada tujuan atau obyektif yang
sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan menekankan isi atau
materi (content based curriculum).
2. Pendekatan yang
bersifat bebas atau lepas dari tujuan (goal free) lebih memungkinkan
untuk mengevaluasi kurikulum yang
menekankan pada situasi (situation based curriculum).
3. Pendekatan yang
bersifat eklektif lebih cocok jika diterapkan dalam kurikulum yang
menekankan organisasi (Muhammad Zaini, 2009: 147-148).
C. Peranan
Evaluasi Kurikulum
Dilihat dari berbagai konsep
kurikulum,
evaluasi memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis.
Jika seseorang ingin memahami dan mengembangkan kurikulum, maka ia wajib
mempelajari tentang evaluasi karena evaluasi merupakan konsep yang melekat
pada kurikulum.
Kurikulum penting untuk dievaluasi dan dikembangkan secara baik dan
berkelanjutan yang memacu
para pelaksana kurikulum di sekolah yang siap pakai, aktif, dan kreatif
serta mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan
yang ada di dalamnya. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan suatu sistem
kurikulum yang efektif dan efisien pada setiap program kegiatan pendidikan.
Peranan evaluasi kurikulum khususnya
dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan itu berkenaan dengan tiga hal,
yaitu:
1. Evaluasi
sebagai moral judgment (penilaian)
Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari
suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan
berikutnya.
2. Evaluasi
dan penentuan keputusan
Pengambil keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum itu sangatlah banyak, misalnya: guru,
siswa, orang tua, kepala sekolah, para pengembang kurikulum dan sebagainya.
Pada prinsipnya tiap individu di atas membuat keputusan sesuai posisinya.
Besar kecilnya peranan keputusan yang diambil itu sesuai dengan
lingkup tanggungjawabnya, serta lingkup masalah yang dihadapinya. Misalnya siswa mengambil keputusan sesuai dengan kepentingannya,
apabila seorang siswa mendapat nilai kurang baik, maka keputusan yang diambil
adalah meningkatkan kualitas
belajarnya. Beberapa hasil evaluasi akan
menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan (dalam Muhammad Zaini, 2009: 146).
3. Evaluasi
dan konsensus nilai
Dalam berbagai situasi
pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum, sejumlah nilai-nilai
dibawakan oleh orang-orang yang ikut terlibat dalam kegiatan penilaian atau
evaluasi. Para partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri dari: orang
tua, siswa, guru, pengembang kurikulum, administrator, dan sebagainya. Sehingga
kesatuan penilaian diantara mereka (partisipan
dalam evaluasi pendidikan)
hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus. Secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum
berasal dari tradisi tes mental serta eksperimen.
Konsensus tersebut berupa kerangka
kerja penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi
belajar yang bersifat behavioral, analisis statistik dari prestasi test dan
post tes. Ada dua kriteria dalam penilaian kurikulum. Pertama, kriteria berdasarkan tujuan
yang telah tentukan atau sering disebut kriteria patokan. Kedua, kriteria berdasarkan norma-norma atau standar yang
dicapai sebagai mana adanya (dalam
Muhammad Zaini, 2009: 146).
D. Ujian
Sebagai Evaluasi Sosial
Ujian memberikan dasar evaluasi dan
penilaian terhadap perkembangan belajar. Dengan evaluasi dapat diperoleh
informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan
belajar siswa. Berdasarkan informasi itu, sehingga dapat dibuat keputusan tentang
kurikulum itu sendiri, pembelajaran, kesulitan dan upaya bimbingan yang perlu
dilakukan.
Sejak diperkenalkannya sistem ujian
atau tes untuk umum di Amerika Serikat dan negara-negara lain, pengukuran yang
berbentuk umum (publik) tersebut merupakan salah satu model evaluasi dalam
pendidikan. Menguji adalah mengevaluasi kemampuan individu. Dengan
adanya ujian-ujian tersebut, maka jenis-jenis kemampuan tertentu
dipandang menunjukkan status lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan
skolastik ( bakat dan minat) umpamanya sering dipandang
memiliki status lebih tinggi daripada penguasaan kemampuan yang lainnya.
Keberhasilan dalam ujian pengetahuan
dan kemampuan skolastik selama bertahun-tahun ditentukan oleh kemampuan yang
mengingat fakta-fakta. Kecenderungan ini bukan saja didasari oleh teori
psikologi lama, yang memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta
lebih banyak, tetapi juga oleh keadaan masyarakat dimana buku-buku sumber
(teks) pengetahuan secara relative tidak berubah selama dua abad. Westmister
shoter catechism umpamanya digunakan sebagai buku teks disekolah-sekolah di Scotlandia abad 17 sampai 19. Karena
adanya berbagai kemajuan dalam masyarakat, maka dalam perkembnagan selanjutnya
jenis kemampuan mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Ujian bukan saja menunjukkan nilai
pengetahuan atau kemampuan secara sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan
dari sekolah.
Dalam dua dekade
pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu
komisi untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk
menyeleksi setiap anak-anak yang akan masuk sekolah menengah yang tidak mampu membayar uang sekolah. Kemudian tes tersebut juga
digunakan sebagai alat bagi penentuan kenaikan kelas serta sebagai saringan
masuk. Pelaksanaan ujian-ujian tersebut sejalan dengan anggapan masyarakat
pada waktu itu, bahwa hanya sebagian dari penduduk yang mempunyai kemampuan
untuk menguasai pengetahuan pada suatu jenis sekolah atau pada jenjang sekolah tertentu. Sistem
ujian yang mempunyai nilai historis ini digunakan untuk mengontrol efisiensi
dan efektifitas pelaksanaan sekolah. Apakah sistem ini dipandang baik atau
jelek bergantung pada pandangan yang menggunakannya.
Sistem ujian yang dilaksanakan di atas,
lebih banyak digunkakan untuk mengukur atau menguji kemampuan individu (siswa).
Untuk menilai gambaran sekolah secara keseluruhan, yaitu menilai tentang
keadaan murid, guru, kurikulum, pembiayaan sekolah, fasilitas sekolah,
keseragaman sekolah, penyusunan rancangan dan pemeliharaan sekolah diperlukan
sistem pengumpulan data serta penilaian yang lain. Kalau untuk mengukur
kemampuan siswa digunakan siswa digunakan istilah examination atau assessment
maka untuk penilaian keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum lebih tepat
digunakan istilah evaluation.
Pelaksanaan penilaian kurikulum
dapat dilihat juga pada konteks mikro yaitu tingkat pembelajaran, di mana
seorang guru akan menilai kurikulum pada aspek tujuan yang aktual, organisasi
materi dan cara penyampaian materi, metode yang dikembangkan serta media yang dipakai
dalam membantu kelancaran belajar siswa, sistem penilaian pembelajaran itu
sendiri. Maka pada konteks ini betul-betul bahwa evaluasi kurikulum memang
harus dilaksanakan. Di mana ujung akhir dapat dijadikan bahan atau masukan
dalam menentukan kenaikan kelas pada siswa.
Pada dasarnya evaluasi kurikulum
dapat dipandang dari konteks mikro dan makro serta fungsinya. Dari sudut
pandang makro berarti evaluasi kurikulum ditujukan pada program kurikulum
secara keseluruhan dalam suatu institusi atau kelembagaan. Di mana prosesnya
akan terukur dari setiap penyuelenggaraaan program kurikulum untuk setiap mata
pelajaran yang dikembangkan dalam pembelajaran. Sedangkan dalam konteks mikro
berarti evaluasi kurikulum ditujukan pada upaya perbaikan pembelajaran pada tingkat
kelas, di mana hasilnya dapat berupa kualitas pembelajaran dan kualitas output
atau keluaran hasil pembelajaran berupa keterampilan dan kecapakan siswa.
E.
Model-Model Evaluasi Kurikulum
Menurut Zainal Arifin (2009), terdapat
sepuluh model evalusi kurikulum :
1.
Model Tyler (Tyler Model)
Model ini dibangun atas dua dasar
pemikiran :
Pertama, evaluasi ditujukan pada tingkah laku
peserta didik. Kedua, evaluasi
harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum melaksanakan
kurikulum dan sesudah melaksanakan kurikum (hasil). Dasar pemikiran ini
menunjukkan bahwa seorang evaluator kurikulum harus dapat menentukan perubahan
tingkah laku apa yang terjadi setelah
peserta didik mengikuti pengalaman belajar tertentu, dan menegaskan bahwa perubahan
yang terjadi merupakan perubahan yang disebabkan oleh kegiatan kurikulum.
Penggunaan model Tyler memerlukan
informasi perubahan tingkah laku terutama pada saat sebelum dan sesudah
terjadinya pelaksanaan kurikulum atau istilah lain tes awal (pre-test)
dan tes akhir (post-test), karena hal itu model ini juga disebut model
black box.
Ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan oleh
pengembang kurikulum :
a.
Menentukan tujuan kurikulum yang akan
dievaluasi
b.
Menentukan situasi dimana peserta didik
memperoleh kesempatan untuk menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan
tujuan
c.
Menentukan alat evaluasi yang akan
digunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.
2.
Model yang Berorientasi pada Tujuan (Goal
Oriented Evaluation Model)
Model evaluasi ini menggunakan tujuan
– tujuan tersebut sebagai kriteria menentukan keberhasilan. Model ini
dianggap lebih praktis untuk mendesain dan mengembangkan suatu kurikulum karena
menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur. Kelebihan
model ini terletak pada hubungan antara tujuan, kegiatan dan menekankan pada
peserta didik sebagai aspek penting dalam kurikulum. Kekurangannya adalah
memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi konsekuensi yang tidak
diharapkan.
3.
Model Pengukuran (R.Thorndike dan
R.L.Ebel)
Model ini sangat menitikberatkan
pada kegiatan pengukuran. Dalam
pengembangan kurikulum, model ini telah diterapkan untuk mengungkap
perbedaan – perbedaan individual maupun kelompok dalam hal kemampuan, minat dan
sikap. Objek evaluasi dalam model ini adaaah tingkah laku peserta didik,
yang mencakup hasil belajar (kognitif), pembawaan, sikap, minat, bakat dan juga
aspek – aspek kepribadian peserta didik. Instrument yang digunakan pada umumnya
adalah tes tertulis (paper and pencil test) dalam bentuk tes objektif,
yang cenderung dibakukan. Model ini sangat memperhatikan difficulty index
dan index of discrimination serta penggunaan pendekatan penilaian acuan
norma.
4.
Model Kesesuaian (Ralph W.Tyler, John
B.Carrol, Lee J.Cronbach)
Model ini memandang evaluasi sebagai
suatu kegiatan untuk melihat kesesuaian antar tujuan dengan hasil belajar yang
telah dicapai. Objek evaluasi adalah tingkah laku peserta didik, yaitu
perubahan tingkah laku yang diinginkan pada akhir kegiatan pendidikan. Teknik
evaluasinya meliputi tes dan non-tes. Model ini memerlukan informasi perubahan
tingkah laku sebelum dan setelah pembelajaran sehingga dengan model ini guru
perlu melakukan pre and post-tes.
Langkah – langkah yang harus ditempuh yaitu :
a.
Merumuskan tujuan tingkah laku
b.
Menentukan situasi dimana peserta didik
dapat memperlihatkan tingkah laku yang akan dievaluasi
c.
Menyusun alat evaluasi
d.
Menggunakan hasil evaluasi.
5.
Model Evaluasi Sitem Pendidikan (Educational
System Evaluation Model)
Model ini menekankan sistem sabagai
suatu keseluruhan dan merupakan penggabungan dari beberapa model, seperti
model countenance dari Stake; model CIPP (Context, Input, Process,
Product) dan CDPP yaitu (context, design, process, product) dari
Stufflebeam; model Scriven yang meliputi instrumental evaluation and
consequential evaluation; model Provus yang meliputi design, operation
program, interim products, dan terminal products; model EPIC (Evaluation
innovative curriculum); model CEMREL (central Midwestern regional
educational laboratory) dari Howard Rusell dan Louis Smith; dan model
Atkinson.
Model stake menitikberatkan evaluasi pada
dua hal pokok, yaitu description yang terdiri dari dua aspek yaitu intens
(goals) dan observation (effect) dan judgement yang terdiri
dari standart dan judgement, dimana setiap hal tersebut terdiri
atas tiga dimensi yaitu antecedent (context), transaction (process), dan
outcomes (output).
Model CIPP berorientasi pada suatu
keputusan. Tujuannya adalah untuk membantu pengembang kurikulum dalam membuat
keputusan.
Terdapat 4 jenis evalusi menurut model
ini yaitu :
a.
Context evaluation to serve planning
decision, yaitu konteks evaluasi untuk membantu administrator merencanakan
keputusan, menentukan kebutuhan, dan merumuskan tujuan program.
b.
Input evaluation, structuring decision. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk
membantu mengatur keputusan, mennetukan sumber–sumber, alternative apa yang
akan diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, dan bagaimana
prosedur kerja untuk mencapainya.
c.
Proses evaluation, to serve implementing
decision. Kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk membantu melaksanakan
keputusan.
d.
Product evaluation, to serve recycling
decision. Kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk membantu keputusan
selanjutnya.
Model ini menuntut agar hasil evaluasi digunakan
sebagai masukan untuk membuat keputusan dalam rangka penyempurnaan sistem
kurikulum secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan adalah penilaian
acuan norma (PAN) dan penilaian acuan patokan (PAP).
6.
Model Alkin (Marvin Alkin, 1969)
Menurut Alkin, evaluasi adalah suatu
proses untuk meyakinkan keputusan, mengumpulkan informasi, memilih informasi
yang tepat, dan menganalisis informasi sehingga dapat disusun laporan bagi
pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif.
Menurut Alkin, terdapat lima jenis
evaluasi :
a.
Sistem assessment, yaitu untuk memberikan informasi tentang
keadaan atau posisi dari suatu sistem.
b.
Program planning, yaitu untuk membantu pemilihan program
tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program.
c.
Program implementation, yaitu untuk menyiapkan informasi apakah
suatu program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat
sebagaimana yang direncanakan.
d.
Program improvement, yaitu memberikan informasi tentang
bagaimana suatu program dapat berfungsi, bekerja atau berjalan.
e.
Program certification, yaitu memberikan informasi tentang nilai
atau manfaat suatu program.
7.
Model Brinkerhoff
Robert O. Brinkerhoff (1987) mengemukakan
ada tiga jenis evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen –
elemen yang sama, yaitu :
a.
Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi fixed (tetap)
harus direncanakan dan disusun secara sistematik-terstruktur sebelum program
dilaksanakan. Meskipun demikian, desain fixed dapat juga disesuaikan
dengan kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desain evaluasi ini
dikembangkan berdssarkan tujuan program, kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan
untuk mengumpulkan berbagai informasi yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan
dalam desain tetap ini, anatara lain menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun
dan menyiapkan instrument, menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan hasil
evaluasi secara formal kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Teknik
pengumpulan data antara lain tes, observasi, wawancara, kuesioner, dan skala
penilaian. Data yang dikumpulkan biasanya bersifat kuantitaif.
Dalam desain evaluasi emergent,
tujuan evaluasi adalah untuk beradaptasi dengan situasi yang sedang berlangsung
dan berkembang, seperti menampung pendapat audiensi, masalah-masalah dan
kegiatan program. Teknik pengumpulan data dapat menggunakan observasi, studi
kasus, dan laporan tim pendukung. Seorang evaluator dapat mengabaikan
penggunaan teknik pengukuran karena informasi yang dibutuhkan lebih bersifat
kualitatif-naturalistik.
b.
Formative vs Summative Evluation (Michael
Scriven, 1967)
Untuk dapat memahami kedua jenis evaluasi
ini dapat dilihat dari fungsinya. Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki
kurikulum, sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat kemanfaatan
kurikulum secara menyeluruh.
c.
Desain eksperimental dan desain quasi
eksperimental vs natural inquiri
Desain eksperimental banyak menggunakan
pendekatan kuantitatif, random sampling, memberikan perlakuan, dan mengukur
dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil percobaan dari suatu
kurikulum. Dalam praktiknya, desain evaluasi ini agak sulit dilakukan karena
pada umumnya proses kurikulum sudah atau sedang terjadi.
Dalam desain evaluasi natural-inquiri,
evaluator banyak menghabiskan waktu untuk melakukan pengamatan dana wawancara
dengan orang-orang yang terlibat.
8.
Model Illuminatif (Malcom Parlett dan
Hamilton)
Model ini lebih menekankan pada
evaluasi kualitatif-terbuka (open-ended). Kegiatan evaluasi
dihubungkan dengan learning milieu, yaitu lingkungan sekolah sebagai
lingkungan material dan psiko-sosial, di mana guru dan peserta didik dapat
berinteraksi. Tujuan evaluasi ini untuk menganalisis pelaksanaan sistem,
faktor-faktor yang memengaruhinya, kelebihan dan kekurangan sistem, dan
pengaruh sistem terhadap pengalaman belajar peserta didik. Objek evaluasi
model ini mencakup latar belakang dan perkembangan sistem, proses pelaksanaan
sistem, hasil belajar peserta didik, kesukaran-kesukaran yang dialami dari
perencanaan sampai dengan pelaksanaan, termasuk efek samping dari sistem itu
sendiri. Berdasarkan tujuan dan pendekatan evaluasi dalam model ini, maka ada
tiga fase yang harus ditempuh, yaiti observe, inquiry further dan
seek to explain.
9.
Model Responsif (Responsive Model)
Model ini menekankan pada pendekatan
kualitatif-naturalistik. Langkah-langkah kegiatan evaluasi meliputi
observasi, merekam hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan
awal peserta didik dan mengembangkan desain atu model.
Kelebihan model ini adalah peka terhadap
berbagai pandangan dan kemampuannya mengakomodasi pendapat yang ambisius serta
tidak fokus, sedangkan kekurangannya yaitu pembuat keputusan sulit menentukan
prioritas atau penyederhanaan informasi, tidak mungkin menampung semua sudut
pandangan dari berbagai kelompok, membutuhkan waktu dan tenaga.
10.
Model Studi Kasus
Karakteristik model ini yaitu :
a.
Terfokus pada kegiatan kurikulum
disekolah, dikelas, atau bahkan hanya kepada seorang kepala sekolah atau guru
b.
Tidak mempersoalkan pemilihan sampel
c.
Hasil evaluasi hanya berlaku pada tempat
evaluasi itu dilakukan
d.
Tidak ada generalisasi hasil evaluasi
e.
Data yang dikumpulkan terutama data
kualitatif
f.
Adanya realitas yang tidak sepihak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi
merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru
untuk mengetahui keefektifan kurikulum. Evaluasi kurikulum adalah suatu
tindakan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan
pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembang
kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan kurikulum.
Adanya perbedaan
penekanan dalam kurikulum mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan dan
dalam pengembangannya. Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut
mempengaruhi langkah-langkah implementasi selanjutnya.
Adapun peranan evaluasi kurikulum
khususnya dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan itu berkenaan dengan tiga
hal, yaitu: evaluasi sebagai moral judgment, evaluasi dan penentuan keputusan,
serta evaluasi dan konpansus nilai.
Ujian memberikan dasar evaluasi dan
penilaian terhadap perkembangan belajar. Dengan evaluasi dapat diperoleh
informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan
belajar siswa.
Menurut Zainal Arifin, terdapat sepuluh
model evaluasi kurikulum, yaitu: model Tyler, model yang berorientasi pada tujuan, model pengukuran (R.Thorndike dan
R.L.Ebel), model Kesesuaian (Ralph W.Tyler, John B.Carrol, Lee J.Cronbach), model
Evaluasi Sitem Pendidikan (Educational System Evaluation Model), Model Alkin,
model Brinkerhoff, model
Illuminatif, Model Responsif, dan model Studi Kasus.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
Zainal. 2011. Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zaini,
Muhammad. 2009. Pengembangan Kurikulum.
Yogyakarta: TERAS.
http://www.slideshare.net/AhmadWahyudinRocknRoll/evaluasi-kurikulum-9593798, diakses pada 11 November 2014 pukul 02.00
http://arahpembelajaranbiologi.blogspot.com/2010/09/peranan-evaluasi-kurikulum-dalam-ujian.html, diakses pada 11 November 2014 pukul 02.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar