Rabu, 09 November 2016

MAKALAH Evaluasi Kurikulum



MAKALAH
EVALUASI KURIKULUM
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Telaah Kurikulum Pendidikan Matematika
Dosen Pengampu : Danuri, M. Pd.





                                                                                                    



Disusun Oleh:
1.      IXI JANNATAN
08600103
2.      UMI MAULIDA
12600010
3.      ULIN NIHAYAH
12600026
4.      NURIKA MIFTAHUL JANNAH
12600028


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum. Evaluasi menjadi bagian integral dari kurikulum. Evaluasi menjadi bagian dari sistem manajemen, yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka kita tidak akan bisa mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya. Tapi, dengan adanya evaluasi, kita dapat menjadikan hasil yang diperoleh sebagai balikan (feed-back) dalam memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum. Hasil-hasil kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Selama ini model kurikulum yang berlaku adalah model kurikulum yang bersifat akademik. Kurikulum yang demikian kurang mampu meningkatkan kemampuan peserta didik secara optimal. Hal ini terbukti dari rendahnya kualitas pendidikan kita dibandingkan dengan negara lain. Selain itu, implementasi kurikulum akademik tidak mampu memberikan nilai etika, moral, dan nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan. Maka dengan adanya evaluasi diharapkan dapat memperbaiki aspek-aspek tersebut sehingga model kurikulum yang diterapkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka kami akan mengkaji mengenai pengertian evaluasi kurikulum, peranan evaluasi kurikulum dan model-model evaluasi kurikulum.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan evaluasi dan kurikulum?
2.      Bagaimana implementasi dan evaluasi kurikulum?
3.      Apa peranan evaluasi kurikulum?
4.      Apa yang dimaksud ujian sebagai evaluasi sosial?
5.      Bagaimana perbandingan model-model evaluasi kurikulum?

C.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian evaluasi dan kurikulum
2.      Untuk mengetahui implementasi dan evaluasi kurikulum
3.      Untuk mengetahui peranan evaluasi kurikulum
4.      Untuk mengetahui maksud ujian sebagai evaluasi social
5.      Untuk mengetahui perbandingan model-model evaluasi kurikulum

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Evaluasi dan Kurikulum
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan balikan (feed-back) bagi guru dalam memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum.
Adapun pemahaman tentang evaluasi kurikulum dapat berbeda-beda sesuai dengan pengertian kurikulum yang beragam menurut para pakar kurikulum.
Hamid Hasan (2009:41) mengartikan evaluasi sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks tertentu. Menurut Tyler (dalam Muhammad Zaini, 2009: 143) menyatakan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah tercapai atau terealisasikan.
Sedangkan pengertian evaluasi menurut Rutman and Mowbray (1983) ialah penggunaan metode ilmiah untuk menilai implementasi dan outcomes suatu program yang berguna untuk proses membuat keputusan. Chelimsky (1989) mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektivitas suatu program. Menurut Sukmadinata (2009:173), “Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus menerus untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang cukup luas, mulai dari yang bersifat sangat informal sampai dengan yang sangat formal.”
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektivitas suatu program. Evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Evaluasi dalam pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses dalam usaha untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat keputusan akan perlu tidaknya memperbaiki sistem pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ditetapkan (Muhammad Zaini, 2009:142).
Sedangkan pengertian kurikulum adalah sebagai berikut:
a.    Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
b.    Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (outcomes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran.
c.    Menurut Hilda Taba (dalam Muhammad Zaini, 2009: 6), kurikulum adalah rencana pembelajaran yang berkaitan dengan proses dan pengembangan individu anak didik. Kurikulum merupakan seperangkat rencana yang menjadi pedoman dan pegangan dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, pengertian evaluasi kurikulum adalah penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan. Atau, evaluasi kurikulum adalah suatu tindakan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembang kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan kurikulum.
Pada dasarnya, evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang memiliki hubungan sebab akibat. Hubungan antara evaluasi dan kurikulum bersifat organis, dan prosesnya secara evalusioner. Menurut Tyler (dalam Muhammad Zaini, 2009:144) berpendapat bahwa evaluasi kurikulum pada dasarnya adalah suatu proses untuk mengecek keberlakuan kurikulum yang harus diterapkan dalam empat tahap. Tahap pertama adalah evaluasi terhadap tujuan pembelajaran, tahap kedua adalah evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum atau proses pembelajaran yang meliputi metode, media, dan evaluasi pembelajaran, tahap ketiga adalah evaluasi terhadap efektivitas baik efektivitas terhadap waktu, tenaga, dan biaya, serta tahap keempat adalah evaluasi terhadap hasil yang telah dicapai.

B.       Implementasi dan Evaluasi Kurikulum
Dalam kurikulum, terdapat perbedaan penekanan. Perbedaan penekanan dalam kurikulum tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan dan dalam pengembangannya.
1.      Konsep kurikulum yang menekankan isi memberikan perhatian besar pada analisis pengetahuan baru yang ada, sangat mengutamakan peranan desiminasi, meskipun seandainya kurikulum itu kurang baik, mereka dapat memaksanya melalui jalur birokrasi.
2.      Konsep situasi menuntut penilaian  secara rinci tentang lingkungan belajar, sangat mementingkan penyiapan unsur-unsur yang terkait.
3.      Konsep organisasi memberi perhatian besar pada struktur belajar. Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah-langkah implementasi selanjutnya, strategi penyebarannya sangat mengutamakan latihan guru.
Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan waktu mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan tujuan pembelajaran yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi, waktu untuk mempersiapkannya hampir sama dengan kurikulum yang menekankan isi.
Perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran kurikulum, juga menimbulkan perbedaan dalam rancangan evaluasi.
1.      Model evaluasi yang bersifat komparatif menekankan pada tujuan atau obyektif yang sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan menekankan isi atau materi (content based curriculum).
2.      Pendekatan yang bersifat bebas atau lepas dari tujuan (goal free) lebih memungkinkan untuk mengevaluasi kurikulum yang  menekankan pada situasi (situation based curriculum).
3.      Pendekatan yang bersifat eklektif lebih cocok jika diterapkan dalam kurikulum yang menekankan organisasi (Muhammad Zaini, 2009: 147-148).

C.       Peranan Evaluasi Kurikulum
Dilihat dari berbagai konsep kurikulum, evaluasi memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis. Jika seseorang ingin memahami dan mengembangkan kurikulum, maka ia wajib mempelajari tentang evaluasi karena evaluasi merupakan konsep yang melekat pada kurikulum.
Kurikulum penting untuk dievaluasi dan dikembangkan secara baik dan berkelanjutan yang memacu para pelaksana kurikulum di sekolah yang siap pakai, aktif, dan kreatif serta mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lembaga pendidikan yang ada di dalamnya. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan suatu sistem kurikulum yang efektif dan efisien pada setiap program kegiatan pendidikan.
Peranan evaluasi kurikulum khususnya dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan itu berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
1.    Evaluasi sebagai moral judgment (penilaian)
Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan berikutnya.
2.    Evaluasi dan penentuan keputusan
Pengambil keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum itu sangatlah banyak, misalnya: guru, siswa, orang tua, kepala sekolah, para pengembang kurikulum dan sebagainya. Pada prinsipnya tiap individu di atas membuat keputusan sesuai posisinya. Besar kecilnya peranan keputusan yang diambil itu sesuai dengan lingkup tanggungjawabnya, serta lingkup masalah yang dihadapinya. Misalnya siswa mengambil keputusan sesuai dengan kepentingannya, apabila seorang siswa mendapat nilai kurang baik, maka keputusan yang diambil adalah meningkatkan kualitas belajarnya. Beberapa hasil evaluasi akan menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan (dalam Muhammad Zaini, 2009: 146).
3.    Evaluasi dan konsensus nilai
Dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum, sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang ikut terlibat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Para partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri dari: orang tua, siswa, guru, pengembang kurikulum, administrator, dan sebagainya. Sehingga kesatuan penilaian diantara mereka (partisipan dalam evaluasi pendidikan) hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus. Secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal dari tradisi tes mental serta eksperimen. Konsensus tersebut berupa kerangka kerja penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar yang bersifat behavioral, analisis statistik dari prestasi test dan post tes. Ada dua kriteria dalam penilaian kurikulum. Pertama, kriteria berdasarkan tujuan yang telah tentukan atau sering disebut kriteria patokan. Kedua, kriteria berdasarkan norma-norma atau standar yang dicapai sebagai mana adanya (dalam Muhammad Zaini, 2009: 146).

D.      Ujian Sebagai Evaluasi Sosial
Ujian memberikan dasar evaluasi dan penilaian terhadap perkembangan belajar. Dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan informasi itu, sehingga dapat dibuat keputusan tentang kurikulum itu sendiri, pembelajaran, kesulitan dan upaya bimbingan yang perlu dilakukan.
Sejak diperkenalkannya sistem ujian atau tes untuk umum di Amerika Serikat dan negara-negara lain, pengukuran yang berbentuk umum (publik) tersebut merupakan salah satu model evaluasi dalam pendidikan. Menguji adalah mengevaluasi kemampuan individu. Dengan adanya ujian-ujian tersebut, maka jenis-jenis kemampuan tertentu dipandang menunjukkan status lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan skolastik  ( bakat dan  minat) umpamanya sering dipandang memiliki status lebih tinggi daripada penguasaan kemampuan yang lainnya.
Keberhasilan dalam ujian pengetahuan dan kemampuan skolastik selama bertahun-tahun ditentukan oleh kemampuan yang mengingat fakta-fakta. Kecenderungan ini bukan saja didasari oleh teori psikologi lama, yang memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih banyak, tetapi juga oleh keadaan masyarakat dimana buku-buku sumber (teks) pengetahuan secara relative tidak berubah selama dua abad. Westmister shoter catechism umpamanya digunakan sebagai buku teks disekolah-sekolah di Scotlandia abad 17 sampai 19. Karena adanya berbagai kemajuan dalam masyarakat, maka dalam perkembnagan selanjutnya jenis kemampuan mempunyai nilai yang lebih tinggi.
Ujian bukan saja menunjukkan nilai pengetahuan atau kemampuan secara sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan dari sekolah. Dalam dua dekade pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu komisi untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk menyeleksi setiap anak-anak yang akan masuk sekolah menengah yang tidak mampu membayar uang sekolah. Kemudian tes tersebut juga digunakan sebagai alat bagi penentuan kenaikan kelas serta sebagai saringan masuk. Pelaksanaan ujian-ujian tersebut sejalan dengan anggapan masyarakat pada waktu itu, bahwa hanya sebagian dari penduduk yang mempunyai kemampuan untuk menguasai pengetahuan pada suatu jenis sekolah atau pada jenjang sekolah tertentu. Sistem ujian yang mempunyai nilai historis ini digunakan untuk mengontrol efisiensi dan efektifitas pelaksanaan sekolah. Apakah sistem ini dipandang baik atau jelek bergantung pada pandangan yang menggunakannya.
Sistem ujian yang dilaksanakan di atas, lebih banyak digunkakan untuk mengukur atau menguji kemampuan individu (siswa). Untuk menilai gambaran sekolah secara keseluruhan, yaitu menilai tentang keadaan murid, guru, kurikulum, pembiayaan sekolah, fasilitas sekolah, keseragaman sekolah, penyusunan rancangan dan pemeliharaan sekolah diperlukan sistem pengumpulan data serta penilaian yang lain. Kalau untuk mengukur kemampuan siswa digunakan siswa digunakan istilah examination atau assessment maka untuk penilaian keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum lebih tepat digunakan istilah evaluation.
Pelaksanaan penilaian kurikulum dapat dilihat juga pada konteks mikro yaitu tingkat pembelajaran, di mana seorang guru akan menilai kurikulum pada aspek tujuan yang aktual, organisasi materi dan cara penyampaian materi, metode yang dikembangkan serta media yang dipakai dalam membantu kelancaran belajar siswa, sistem penilaian pembelajaran itu sendiri. Maka pada konteks ini betul-betul bahwa evaluasi kurikulum memang harus dilaksanakan. Di mana ujung akhir dapat dijadikan bahan atau masukan dalam menentukan kenaikan kelas pada siswa.
Pada dasarnya evaluasi kurikulum dapat dipandang dari konteks mikro dan makro serta fungsinya. Dari sudut pandang makro berarti evaluasi kurikulum ditujukan pada program kurikulum secara keseluruhan dalam suatu institusi atau kelembagaan. Di mana prosesnya akan terukur dari setiap penyuelenggaraaan program kurikulum untuk setiap mata pelajaran yang dikembangkan dalam pembelajaran. Sedangkan dalam konteks mikro berarti evaluasi kurikulum ditujukan pada upaya perbaikan pembelajaran pada tingkat kelas, di mana hasilnya dapat berupa kualitas pembelajaran dan kualitas output atau keluaran hasil pembelajaran berupa keterampilan dan kecapakan siswa.

E.       Model-Model Evaluasi Kurikulum
Menurut Zainal Arifin (2009), terdapat sepuluh model evalusi kurikulum :
1.         Model Tyler (Tyler Model)
Model ini dibangun atas dua dasar pemikiran :
Pertama, evaluasi ditujukan pada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum melaksanakan kurikulum dan sesudah melaksanakan kurikum (hasil). Dasar pemikiran ini menunjukkan bahwa seorang evaluator kurikulum harus dapat menentukan perubahan tingkah laku apa yang terjadi  setelah peserta didik mengikuti pengalaman belajar tertentu, dan menegaskan bahwa perubahan yang terjadi merupakan perubahan yang disebabkan oleh kegiatan kurikulum.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah laku terutama pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pelaksanaan kurikulum atau istilah lain tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test), karena hal itu model ini juga disebut model black box.
Ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan oleh pengembang kurikulum :
a.    Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi
b.   Menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh kesempatan untuk menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan
c.    Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.  
2.         Model yang Berorientasi pada Tujuan (Goal Oriented Evaluation Model)
Model evaluasi ini menggunakan tujuan – tujuan tersebut sebagai kriteria menentukan keberhasilan. Model ini dianggap lebih praktis untuk mendesain dan mengembangkan suatu kurikulum karena menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur. Kelebihan model ini terletak pada hubungan antara tujuan, kegiatan dan menekankan pada peserta didik sebagai aspek penting dalam kurikulum. Kekurangannya adalah memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi konsekuensi yang tidak diharapkan.
3.      Model Pengukuran (R.Thorndike dan R.L.Ebel)
Model ini sangat menitikberatkan pada  kegiatan pengukuran. Dalam pengembangan kurikulum, model ini telah diterapkan untuk mengungkap perbedaan – perbedaan individual maupun kelompok dalam hal kemampuan, minat dan sikap. Objek evaluasi dalam model ini adaaah tingkah laku peserta didik, yang mencakup hasil belajar (kognitif), pembawaan, sikap, minat, bakat dan juga aspek – aspek kepribadian peserta didik. Instrument yang digunakan pada umumnya adalah tes tertulis (paper and pencil test) dalam bentuk tes objektif, yang cenderung dibakukan. Model ini sangat memperhatikan difficulty index dan index of discrimination serta penggunaan pendekatan penilaian acuan norma.
4.         Model Kesesuaian (Ralph W.Tyler, John B.Carrol, Lee J.Cronbach)
Model ini memandang evaluasi sebagai suatu kegiatan untuk melihat kesesuaian antar tujuan dengan hasil belajar yang telah dicapai. Objek evaluasi adalah tingkah laku peserta didik, yaitu perubahan tingkah laku yang diinginkan pada akhir kegiatan pendidikan. Teknik evaluasinya meliputi tes dan non-tes. Model ini memerlukan informasi perubahan tingkah laku sebelum dan setelah pembelajaran sehingga dengan model ini guru perlu melakukan pre and post-tes.
Langkah – langkah yang harus ditempuh yaitu :
a.    Merumuskan tujuan tingkah laku
b.    Menentukan situasi dimana peserta didik dapat memperlihatkan tingkah laku yang akan dievaluasi
c.    Menyusun alat evaluasi
d.   Menggunakan hasil evaluasi.
5.         Model Evaluasi Sitem Pendidikan (Educational System Evaluation Model)
Model ini menekankan sistem sabagai suatu keseluruhan dan merupakan penggabungan dari beberapa model, seperti model countenance dari Stake; model CIPP (Context, Input, Process, Product) dan CDPP yaitu (context, design, process, product) dari Stufflebeam; model Scriven yang meliputi instrumental evaluation and consequential evaluation; model Provus yang meliputi design, operation program, interim products, dan terminal products; model EPIC (Evaluation innovative curriculum); model CEMREL (central Midwestern regional educational laboratory) dari Howard Rusell dan Louis Smith; dan model Atkinson.
Model stake menitikberatkan evaluasi pada dua hal pokok, yaitu description yang terdiri dari dua aspek yaitu intens (goals) dan observation (effect) dan judgement yang terdiri dari standart dan judgement, dimana setiap hal tersebut terdiri atas tiga dimensi yaitu antecedent (context), transaction (process), dan outcomes (output).
Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan. Tujuannya adalah untuk membantu pengembang kurikulum dalam membuat keputusan.
Terdapat 4 jenis evalusi menurut model ini yaitu :
a.    Context evaluation to serve planning decision, yaitu konteks evaluasi untuk membantu administrator merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan, dan merumuskan tujuan program.
b.    Input evaluation, structuring decision. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk membantu mengatur keputusan, mennetukan sumber–sumber, alternative apa yang akan diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
c.    Proses evaluation, to serve implementing decision. Kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk membantu melaksanakan keputusan.
d.   Product evaluation, to serve recycling decision. Kegiatan evaluasi ini bertujuan untuk membantu keputusan selanjutnya.
Model ini menuntut agar hasil evaluasi digunakan sebagai masukan untuk membuat keputusan dalam rangka penyempurnaan sistem kurikulum secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan adalah penilaian acuan norma (PAN) dan penilaian acuan patokan (PAP).
6.         Model Alkin (Marvin Alkin, 1969)
Menurut Alkin, evaluasi adalah suatu proses untuk meyakinkan keputusan, mengumpulkan informasi, memilih informasi yang tepat, dan menganalisis informasi sehingga dapat disusun laporan bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif.
Menurut Alkin, terdapat lima jenis evaluasi :
a.    Sistem assessment, yaitu untuk memberikan informasi tentang keadaan atau posisi dari suatu sistem.
b.    Program planning, yaitu untuk membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program.
c.    Program implementation, yaitu untuk menyiapkan informasi apakah suatu program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat sebagaimana yang direncanakan.
d.   Program improvement, yaitu memberikan informasi tentang bagaimana suatu program dapat berfungsi, bekerja atau berjalan.
e.    Program certification, yaitu memberikan informasi tentang nilai atau manfaat suatu program.
7.         Model Brinkerhoff
Robert O. Brinkerhoff (1987) mengemukakan ada tiga jenis evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen – elemen yang sama, yaitu :
a.    Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan disusun secara sistematik-terstruktur sebelum program dilaksanakan. Meskipun demikian, desain fixed dapat juga disesuaikan dengan kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Desain evaluasi ini dikembangkan berdssarkan tujuan program, kemudian disusun pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam desain tetap ini, anatara lain menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan menyiapkan instrument, menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Teknik pengumpulan data antara lain tes, observasi, wawancara, kuesioner, dan skala penilaian. Data yang dikumpulkan biasanya bersifat kuantitaif.
Dalam desain evaluasi emergent, tujuan evaluasi adalah untuk beradaptasi dengan situasi yang sedang berlangsung dan berkembang, seperti menampung pendapat audiensi, masalah-masalah dan kegiatan program. Teknik pengumpulan data dapat menggunakan observasi, studi kasus, dan laporan tim pendukung. Seorang evaluator dapat mengabaikan penggunaan teknik pengukuran karena informasi yang dibutuhkan lebih bersifat kualitatif-naturalistik.
b.    Formative vs Summative Evluation (Michael Scriven, 1967)
Untuk dapat memahami kedua jenis evaluasi ini dapat dilihat dari fungsinya. Evaluasi formatif berfungsi untuk memperbaiki kurikulum, sedangkan evaluasi sumatif berfungsi untuk melihat kemanfaatan kurikulum secara menyeluruh.
c.    Desain eksperimental dan desain quasi eksperimental vs natural inquiri
Desain eksperimental banyak menggunakan pendekatan kuantitatif, random sampling, memberikan perlakuan, dan mengukur dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat hasil percobaan dari suatu kurikulum. Dalam praktiknya, desain evaluasi ini agak sulit dilakukan karena pada umumnya proses kurikulum sudah atau sedang terjadi.
Dalam desain evaluasi natural-inquiri, evaluator banyak menghabiskan waktu untuk melakukan pengamatan dana wawancara dengan orang-orang yang terlibat.
8.         Model Illuminatif (Malcom Parlett dan Hamilton)
Model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif-terbuka (open-ended). Kegiatan evaluasi dihubungkan dengan learning milieu, yaitu lingkungan sekolah sebagai lingkungan material dan psiko-sosial, di mana guru dan peserta didik dapat berinteraksi. Tujuan evaluasi ini untuk menganalisis pelaksanaan sistem, faktor-faktor yang memengaruhinya, kelebihan dan kekurangan sistem, dan pengaruh sistem terhadap pengalaman belajar peserta didik. Objek evaluasi model ini mencakup latar belakang dan perkembangan sistem, proses pelaksanaan sistem, hasil belajar peserta didik, kesukaran-kesukaran yang dialami dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, termasuk efek samping dari sistem itu sendiri. Berdasarkan tujuan dan pendekatan evaluasi dalam model ini, maka ada tiga fase yang harus ditempuh, yaiti observe, inquiry further dan seek to explain.
9.         Model Responsif (Responsive Model)
Model ini menekankan pada pendekatan kualitatif-naturalistik. Langkah-langkah kegiatan evaluasi meliputi observasi, merekam hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan awal peserta didik dan mengembangkan desain atu model.
Kelebihan model ini adalah peka terhadap berbagai pandangan dan kemampuannya mengakomodasi pendapat yang ambisius serta tidak fokus, sedangkan kekurangannya yaitu pembuat keputusan sulit menentukan prioritas atau penyederhanaan informasi, tidak mungkin menampung semua sudut pandangan dari berbagai kelompok, membutuhkan waktu dan tenaga.
10.     Model Studi Kasus
Karakteristik model ini yaitu :
a.    Terfokus pada kegiatan kurikulum disekolah, dikelas, atau bahkan hanya kepada seorang kepala sekolah atau guru
b.   Tidak mempersoalkan pemilihan sampel
c.    Hasil evaluasi hanya berlaku pada tempat evaluasi itu dilakukan
d.   Tidak ada generalisasi hasil evaluasi
e.    Data yang dikumpulkan terutama data kualitatif
f.     Adanya realitas yang tidak sepihak.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dalam pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan tahap yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan kurikulum. Evaluasi kurikulum adalah suatu tindakan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu kurikulum, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu, sebagai bentuk akuntabilitas pengembang kurikulum dalam rangka menentukan keefektifan kurikulum.
Adanya perbedaan penekanan dalam kurikulum mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan dan dalam pengembangannya. Perbedaan-perbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah-langkah implementasi selanjutnya.
Adapun peranan evaluasi kurikulum khususnya dalam penentuan kebijaksanaan pendidikan itu berkenaan dengan tiga hal, yaitu: evaluasi sebagai moral judgment, evaluasi dan penentuan keputusan, serta evaluasi dan konpansus nilai.
Ujian memberikan dasar evaluasi dan penilaian terhadap perkembangan belajar. Dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa.
Menurut Zainal Arifin, terdapat sepuluh model evaluasi kurikulum, yaitu: model Tyler, model yang berorientasi pada tujuan, model pengukuran (R.Thorndike dan R.L.Ebel), model Kesesuaian (Ralph W.Tyler, John B.Carrol, Lee J.Cronbach), model Evaluasi Sitem Pendidikan (Educational System Evaluation Model), Model Alkin, model Brinkerhoff, model Illuminatif, Model Responsif, dan model Studi Kasus.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zaini, Muhammad. 2009. Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: TERAS.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LoA (Law of Attraction)

  LoA ( Law of Attraction )   Law of Attraction adalah hukum tarik menarik. Kita menarik sesuatu yang menurut kita sesuai dengan diri k...