MAKALAH
SINKRETISME DAN AKULTURASI
Makalah ini Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah SKI & Budaya Lokal
Dosen Pengampu : Muh
Fatkhan, S.Ag, M.Hum
Asisten : Sumarni
Aini Chabibah S.S, M.Hum
Disusun Oleh :
Nama
|
NIM
|
-
Jaesyi
Muhammad Hasan
|
15600004
|
-
Shevi Ikhsan
|
1560000
|
-
Rita Maelisa
|
15600007
|
-
|
156000
|
-
Nurika
Miftahuljannah
|
12600028
|
|
|
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUNAN KALIJAGA
2016
SINKRETISME
DAN AKULTURASI
PEMBAHASAN
A. Sinkretisme
1. Pengertian Sinkretisme
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin
dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan
elemen-elemen yang saling bertentangan. Sedangkan pengertiannya adalah suatu
gerakan dibidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada
hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Tercatat pada abad ke-2 dan ke-4
aliran Neo Platonisme berusaha menyatukan agama-agama penyembah berhala. Selanjutnya,
pada masa Renaisan muncul usaha untuk menyatukan antara gereja Katolik Timur
dan Katolik Barat. Selain itu pernah muncul gerakan untuk mengawinkan antara
aliran Lutherian dengan aliran-aliran lain dalam Protestan. Dalam bidang
filsafat pernah muncul usaha untuk mengharmoniskan pertentangan antara
pemikiran Plato dan Aristoteles. Simuh
menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan
yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu sikap yang
tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham
ini semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha
memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama yang berbeda dan
dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte, dan bahkan agama. Sebagai contoh dari
sinkretisasi antara dua agama yang berbeda adalah penggabungan antara agama
Islam dan Hindu di India, seperti yang dilakukan oleh Guru Nanak (1469-1538).
Ketika
melihat adanya konflik yang berkepanjangan antara pemeluk agama Islam dan agama
Hindu, Guru Nanak berinisiatif untuk menggabungkan ajaran-ajaran kedua agama
besar tersebut dengan mengambil unsur-unsur yang dianggap baik dari keduanya sebagai
ajaran agama baru yang dibentuknya. Gabungan kedua agama ini disebut agama Sikh,
dengan ajaran-ajaran sebagai berikut :
1.
Percaya satu
tuhan (Hari)
2.
Melarang
pemujaan arca-arca keagamaan
3.
Percaya
reinkarnasi dan hukum karma
4.
Membuang
upacara-upacara keagamaan
5.
Mengajarkan
persamaan hak dan martabat laki-laki dan wanita
6.
Menghindari
kegiatan keduniawian
7.
Menjauhi
minuman keras dan rokok
8.
Menjalankan
hidup damai dan benar.
Dari ajaran-ajaran diatas terlihat bahwa agama Sikh sangat dipengaruhi
oleh ajaran-ajaran Islam (percaya kepada Tuhan yang satu dan melarang pemujaan
terhadap arca) dan ajaran-ajaran Hindu (percaya kepada reinkarnasi dan hukum
karma).
Di kalangan masyarakat Jawa pernah terjadi penggabungan antara dua
agama, yaitu agama Budha dan agama Hindu (Siwa). Kedua agama tersebut mempunyai
persamaan dan sekaligus perbedaan. Namun pada kurun tertentu kedua agama ini
telah diamalkan sekaligus secara bersama-sama oleh masyarakat Jawa. Hal ini
dibuktikan ketika Wishnuwardana wafat, nisannya di Waleri berbentuk patung Siwa,
sedangkan di Jajaghu berbentuk Budha. Begitu pula candi di Prigen telah
digunakan untuk pemujaan para pemeluk agama Siwa maupun Budha.
Langkah
sinkretisme telah ditunjukan antar orang-orang Islam (penganut aliran “Wektu
Telu”) dan Hindu disuatu tempat di Pulau Lombok, dengan mendirikan Pura Lingsar.
Sebagai pura, bangunan ini digunakan untuk tempat ritual pemeluk Hindu. Namun
keistimewaannya, tempat ini juga digunakan sholat orang-orang beraliran Wektu
Telu. Di dalam pura tersebut terdapat simbol-simbol keislaman, seperti tangga
beranak 17 yang menunjukan jumlah rokaat sholat, lima buah pancuran yang
menunjukan rukun islam yang lima, dan sebagainya.
Para
pengamat menyebut hal itu sebagai sinkretisasi karena merupakan penggabungan
dua agama yang berbeda tapi sebagian lain mengatakan bahwa hal itu bukan
merupakan sinkretisasi, melainkan buah dari sikap toleran mendalam yang
dilandasi oleh semangat untuk menghormati dan menghayati, serta mengamalkan
semua nilai kebenaran, darimanapun sumbernya. Semangat tersebut diadopsi dari
Empu Tantular yang mengatakan Bhineka Tunggal Ika ‘berbeda-beda tetapi
tetap satu ‘ dan tan hana dharma mangrwa ‘tidak ada kebenaran ganda’.
Dalam
memaknai bhinneka tunggal ika ini, mereka mengartikannya bukan sekedar,
“walaupun berbeda beda suku dan baangsa tetapi tetap satu”, tetapi mereka
menambahkan” walaupun berbeda-beda, semua agama itu pada hakikatnya tetap
satu”. Mereka beranggapan walaupun secara lahiriyah semua agama berbeda, tetapi
pada hakikiatnya satu, yaitu menuju Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, bagi
mereka tidak ada halangan bagi pemeluk sesuatu agama untuk mengambil ajaran dan
ritual dari agama lain sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Hal itu dianggap suatu ajaran apabila pemeluk agama Siwa atau Hindu mengambil
unsur-unsur dari ajaran agama Budha, dan sebaliknya pemeluk ajaran Budha
mengambil ajaran dari unsur Hindu.
Abdulllah
Ciptoprawiro, seorang dokter yang mengajar filsafat Jawa di Jurusan Filsafat
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menambahkan berpendapat mengenai hal
ini. Beliau berpendapat bahwa dengan tidak memandang asal usulnya, semua hasil
pemikiran, pengalaman, dan penghayatan manusia dalam gerak perjalanannya menuju
kepada Tuhan dan kesempurnaan dianggap sebagai pola tetap dari pemikiran dan
filsafat Jawa. Langkah tersebut diibaratkan sebagai mozaik yang mempunyai nilai
tetap, tetapi unsur-unsur di dalamnya atau batu-batunya akan berubah dengan
budaya baru.
Dengan demikian, menurutnya unsur-unsur agama Budha baik Islam, Hindu, Budha,
Kristen Protestan, dan Katholik boleh saja mewarnai usaha-usaha manusia Jawa
dalam menggapai kesempurnaan hidup dan Tuhannya, dengan tidak merubah esensinya.
Meskipun
singkretisme agama dengan unsur-unsur luar tidak dikehendaki oleh sebagian
ulama dan tokoh agama, akan tetapi kenyatannya telah merambah pada semua agama,
termasuk Islam. Oleh karena itu, meskipun semua orang Islam mengatakan bahwa
dalam beragama mereka selalu berpedoman pada al-Quran dan as-Sunnah, tetapi
kenyataan menyunjukkan bahwa disetiap tempat dapat dijumpai amalan Islam yang
khas dan berbeda karakter bila dibandingakan dengan tempat-tempat lainnnya.
Begitu juga Islam dalam masyarakat Jawa.
Di
kalangan masyakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar berusaha
menjadi muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi
larangannnya. Di samping itu juga terdapat orang-orang yang mengakui bahwa diri
mereka muslim, tetapi dalam kesehariannya tampak bahwa ia kurang berusaha untuk
menjalankan syariat agamanya dan hidupnya sangat diwarnai oleh tradisi dan
kepercayaan lokal. Selain itu, terdapat pula kelompok yang bersifat moderat.
Mereka berusaha mengamalkan semua ajaran-ajaran Islam dengan baik, tetapi juga
mengapresiasi dalam batas-batas tertentu terhadap budaya dan tradisi lokal.
Dalam
menjelaskan keberagaman masyarakat muslim Jawa, Kuncaraningrat membagi mereka
menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam Santri. Agama Islam Jawa
kurang taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsur-unsur
pra-Hindu, Hindu, dan Islam, sedangkan agama Islam Santri lebih taat dalam
menjalankan ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan, meskipun masih
sedikit terpengaruh oleh animisme, dinamisme, dan Hindu Budha.
2. Munculnya Islam Sinkretik dalam
Masyarakat Jawa
Islam masuk ke Jawa pada dua waktu. Pertama, pada waktu
hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur, baik dalam bidang
politik maupun dalam bidang pemikiran. Dalam bidang politik, ditandai dengan
jatuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1285 M dan tersingirnya
Dinasti Al Ahmar di Andalusia (Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan
Castella pada 1492 M. Dalam bidang pemikiran, terjadi stagnansi dalam pemikiran
yang sebelumnya telah muncul ulama-ulama besar di bidang hukum, teologi,
filsafat, tasawuf, dan sains. Pada masa ini telah semakin berkembang pendapat
bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan kelompok-kelompok tarekat sesat semakin
berkembang di kalangan umat Islam.
Kedua, saat agama
Hindu, Budha, dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah
beruratakar di kalangan masayarakat Jawa. Kemudian dengan datangnya Islam di
Jawa terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak dengan kepercayaan-kepercayaan
yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya muncul dua kelompok dalam menerima
Islam, yaitu:
a.
Kelompok
yang menerima Islam secara total dengan tanpa mengingat pada
kepercayaan-kepercayaan lama. Hal ini berdasarkan penelitian ulang yang
dilakukan oleh Drawes pada tiga manuskrip lama yang berasal pada abad ke-16
atau ke-15 yang menunjukkan tentang Islam ortodok yang dapat diterima oleh
semua pihak di kalangan ummat Islam.
b.
Kelompok
yang menerima Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama. Oleh
karena itu mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam
dengan kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Jawa dapat dijumpai tulisan-tulisan, tradisi, dan kepercayaan yang tercampur di
dalamnya antara aspek-aspek dari ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan
lama.
Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam Shufi (mistik),
yang salah satu ciri khasnya adalah sifatnya yang toleran dan komodotif
terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, yang dibiarkannya eksis
sebagaimana semula, hanya kemudian diwarnai dan diisi dengan ajaran-ajaran
Islam. Dengan demikian, islamisasi di Indonesia, termasuk di Jawa, lebih
bersifat kontinuitas apa yang sudah ada dan bukannya perubahan dalam
kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.
Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya
setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu
sinkretisasi dan pencampuradukan antara Islam di satu sisi dengan
kepercayaan-kepercayaan lama di pihak lain, sehingga sulit dibedakan mana ang
benar-benar ajaran Islam dan mana pula yang berasal tradisi. Namun demikian,
aspek positifnya ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi
jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama
mereka yang baru. Begitu juga sebaliknya, ajaran-ajaran tersebut telah
memudahkan pihak Islam pesantren untuk
mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka
dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa.
Sinkretisme ini semakin mengendap ketika Kerajaan Demak pindah ke
Pajang kemudian Mataram, yang keduanya berada di pedalaman. Saat keraton masih
berada di Demak, hubungan dengan dunia luar relatif mudah dilakukan karena
wilayahnya berada di bibir pantai. Oleh karena itu, ekonomi masyarakatnya
digerakkan melalui perdagangan antar pulau sehingga para mubaligh dari luar
Jawa dapat menyiarkan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa.
Akan tetapi, setelah keraton pindah ke pedalaman, ekonomi
masyarakat lebih bertumpu pada pertanian yang tidak memerlukan mobilitas
penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya. Akibatnya, islamisasi yang sudah
berjalan secara evolusif, berhenti, dan menyebabkan tradisi serta kepercayaan
lama menjadi marak kembali. Hal ini mencapai puncaknya ketika Belanda datang ke
Indonesia yang memonopoli dunia pelayaran di Jawa dan memblokade hubungan antar
pulau, sehingga masyarakat tidak lagi mampu berkomunikasi dengan teman-teman
mereka di seberang pulau secara leluasa.
3. Praktek-pratek Sinkretisme dalam
Masyarakat Jawa
Untuk mengkonkretkan pengertian dan pemahaman tentang pelaksanaan
sinkretisme antara unsur-unsur dari ajaran Islam dengan agama Budha, Hindu, dan
tradisi lokal Jawa, berikut diberikan beberapa contoh.
a.
Penggabungan antara Dua Agama/Aliran atau Lebih
Penggabungan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu
aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayaan lokal
(Jawa) dengan ajaran-ajaran agama Islam dengan agama-agama lainnya. Sebagai
contoh adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oelh Raden Sujono alias
Prawirosudarso, yang berasal dari Desa Sukorejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten
Madiun. Beliau lahir pada 1875 dan meninggal pada 25 Oktober 1961 (85 tahun).
Menurut pengakuannya, ajaran Islam
Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran-ajaran Islam, Kristen,
dan Budha. Apabila ajaran tersebut diteliti ternyata tidak salah. Sebagai
contoh aliran yang diajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut:
“Ashadu allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar.
Wa ashadu anane urip, anane Mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar
tegese padhang, Mukamad lan rasul iki tegese cahya, nur johar tegese padhang.”
Artinya:
“Ashadu allah adanya aku, adanya nafas, adanya rasul, adanya johar.
Wa ashadu anna adanya hidup, adanya Mukamad, adanya nur, nur artinya terang,
johar artinya terang, Mukamad dan rasul artinya cahaya, nur johar artinya terang.”
Diantara ajaran-ajaran aliran ini adalah sebagai berikut:
v Dalam hidup harus mengerti letak dasar iman, yaitu lafal (ucapan)
1)
Laa ilaaha
2)
Illallah
3)
Allaah
Ketiga
ucapan tersebut masing-masing diucapkan tiga kali.
v Wajib memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu:
1)
Sahadat
(syahadat) : supaya mengerti
letak
2)
Salat
(shalat) : menjalankan serta
mengerti maksudnya
3)
Jakat
(zakat) : agar mulia Awal-Akhir
4)
Puasa
(Saum) : agar suci Awal-Akhir
5)
Kaji
(Haji) : agar sempurna
betulnya
v Hendaklah memenuhi tentang sembah lima (tata sila), yaitu:
1)
Bapak
dan ibu : ini yang menjadi sebab
dilahirkannya di dunia
2)
Mertua
laki istri : inilah yang memberi
kesenangan di dunia
3)
Saudara
tua : ini sebagai gantinya
orang tua (bapak ibu)
4)
Raja : yaitu harus mengikuti
apa yang menjadi
pemerintah
Republik Indonesia.
5)
Guru : ini yang memberi
pengajaran yang benar-
benar,
agar hatinya dan berguna hidupnya di dunia Awal-Akhir.
b.
Dalam Masalah Kepercayaan
1) Konsep Mengenai Kosmologi dan
Kosmogoni
Kosmogoni berasal dari bahasa Yunani “kosmos” yang berarti
dunia, alam ray, dan gignesthai (lahir). Kosmogoni merupahan teori tentang asal
mula alam semesta. Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah
alam semesta berskala besar. Secara khusus ilmu ini berhubungan dengan asal
mula dan evolusi dari suatu objek.
Dalam masyarakat Jawa, telah berdar beberapa mite tentang
penciptaan alam dan manusia. Meskipun mite-mite tersebut berbeda, tetapi di
dalamnya terdapat satu persamaan . Semuanya menyebut Adam sebagai manusia dan
nabi pertama. Salah satu mite menyebutkan bahwa Brahma adalah pencipta bumi,
sedangkan Wisnu adalah pencipta manusia. Brahma berhasil menciptakan bumi,
tetapi gagal menciptakan manusia. Sehingga Brahma menyuruh Wisnu untuk turun ke
bumi dan menciptakan manusia. Wisnu kemudian membuat patung yang menyerupai
dirinya sendiri menggunakan tanah liat. Patung itu kemudian diisi dengan energi
yang terdiri dari jiwa dan sukma (semangat).
Sayangnya dalam penciptaan ini ia lupa untuk memasukkan prana (nafas)
ke dalamnya sehingga ciptannya tersebut hancur menjadi ribuan serpihan dan
kepingan yang kemudian menghilang dalam kegelapan. Kepingan-kepingan ini
berubah menjadi hantu-hantu jahat yang mengganggu alam dewata. Setelah itu
Wisnu berusaha sekali lagi untuk melaksanakan perintah Brahma dan akhirnya
berhasil menciptakan makhluk yang tampan, sebagai manusia pertama seperti yang
diharapkan Brahma. Makhluk ini kemudian diberi nama Adina (Adam).
Setelah manusia dan nabi pertama tercipta, Wisnu sadar bahwa
seorang manusia Adam saja belum memadai untuk mengisi dunia ini. Kemudian,
terpikirlah oleh Wisnu untuk mencarikan Adam teman. Terlihat setangkai bunga
teratai di dalam sebuah kolam, Wisnu kemudian memintanya untuk menjelma menjadi
seorang perempuan sebagai teman Adam. Bunga teratai ini kemudian menerima
permintaan Wisnu dan menjelmalah ia menjadi perempuan cantik yang diberi nama
Kana (Hawa).
Dari uraian di atas, terlihat bahwa mite ini berusaha untuk
mengkompromikan antara ajaran Islam dengan penyebutan Adam dan Hawa, dan ajaran
Hindu dengan menyebutkan nama Brahma dan Wisnu dalam penciptaan alam dan
manusia.
2) Silsilah Raja-raja Mataram
Silsilah politik ini dibuat untuk menunjukkan bahwa dari garis ibu
ereka adalah keturunan wali yang berujung pada Nabi Muhammad (silsilah penengen)
dan garis bapak mereka berasal dari keturunan para dewa dan sekaligus Nabi
Adam. Sedangkan dari garis ibu disebutkan bahwa mereka berasal dari Syekh Wali
Lanang yang merupakan putera dari Syeikh Maulana Ishak bin Syekh Jungeb.
Pembuatan silsilah ini dimaksudkan dalam rangka menambah wibaw dan legitimasi
raja-raja Mataram yang berasal dari orang biasa (Ki Ageng Panembahan). Berikut
ini kutipan bagan silsilah penengen (silsilah dari garis ibu).
a.
Syekh
Jungeb (berasala dari Saudi Arabia dan keturunan Nabi Muhammad)
b.
Syekh
Maulan Ishak
c.
Syekh
Wali Lanang
d.
Sunan
Giri I
e.
Sunan
Giri II
f.
Ki
Ageng Saba
g.
Nyi
Ageng Pamenahan (ibu Panembahan Senapati)
Adapun dalam
silsilah dari Nabi Adam sampai ke raja-raja Mataram (silsilah pangiwa) adalah
sebagai berikut:
1.
Nabi
Adam AS
2.
Nabi
Sis AS
3.
Sang
Hyang Nurcahya
4.
Sang
Hyang Nurrasa
5.
Sang
Hyang Wenang
6.
Sang
Hyang Tunggal
7.
Bathara
Guru
8.
Bathara
Brama
9.
Bathara
Bramani
10. Tritrusta
11. Parikenam
12. Manumanasa
13. Sakutrem
14. Sakri
15. Palasara
16. Abiasa
17. Pandu
18. Arjuna
19. Abimanyu
20. Perikesit
21. Udayana
22. Gendrayana
23. Jayabhaya
24. Jayamilaya
25. Jayamisena
26. Kusumawicitra
27. Citrasoma
|
1.
Pancadriya
2.
Anglingdriya
3.
Suwalacala
4.
Mahapunggung
5.
Kandiawan
6.
Resi
Gentayu
7.
Lembu
Ambilihur
8.
Panji
9.
Kuda
Lalean
10. Banjaran Sari
11. Munding Sari
12. Munding Wangi
13. Pamekas
14. Susuruh
15. Prabu Anom
16. Adaningkung
17. Ayam Wuruk
18. Lembu Amisani
19. Bra Tanjung
20. Bra Wijaya
21. Bondang Kejawan
22. Gentas Pendawa
23. Gede Sela
24. Gede Ngenis
25. Pemanahan
26. Senapati
27. Dan seterusnya
|
Adanya silsilah
pengiwa dan penengen ini diharapkan masyarakat akan mengetahui
bahwa raja-raja mereka adalah keturunann dari tokoh-tokoh yang kuat dan
terkenal. Uraian di atas menunjukkan sinkretisasi antara ajaran Islam dan
Hindu, dengan mengaitkan bahwa manusia adalah keturunan para dewa. Namun
ternyata para dewa juga masih keturunan manusia juga, yaitu Adam dan Sis.
3)
Bidang Ritual
a)
Upacara Midodareni
Masyarakat tradisional sering mengadakan crisis rites dan rites
de passage, yaitu ‘upacara peralihan’ yang berupa slametan, makan
bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat, dan sebagainya. Kegiatan
ini dilakukan karena menganggap pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan
adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Sebelum Islam
datang, masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan yang diwujudkan
dalam bentuk slametan yang berkaitan dengan siklus kehidupan, seperti
kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, mananam dan memanen padi,
serta penghormatan kepada roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang,
ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur
dari ajaran-ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawanisme (keyakinan dan
budaya Jawa).
Upacara midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang
dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan
sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus
supaya melindungi kedua calon pengantin dari mara bahaya yang mengganggu
perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Di kalangan muslim yang taat beragama,
ritual ini diisi dengan pembacaan al-Barjanji, kalimah thoyibah, dan tahlil.
Akan tetapi, di kalangan masyarakat yang kurang taat dalam beragama, acara ini
digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-lekan dan keplek sampai
pagi.
b)
Upacara Brokohan dan Sepasaran
Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan
untuk melaksanakan aqiqah dengan menyembelih kambing. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa sebagian masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah
tersebut. Mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi
lahir ke dunia dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima
hari) sebagai gantinya. Mereka tidak menyembelih kambing dalam melaksanakan
kedua slametan ini, tetapi menggantinya dengan sego janganan dan
nasi urab. Jika urab pedas, maka tandanya bayi yang dilahirkan
laki-laki dan jika bayi yang dilahirkan perempuan, urab sengaja dibuat
tidak pedas.
Selain itu, apabila yang lahir bayi laki-laki, mereka menambahkan sayur lodeh
yang terbuat dari kluwih dengan harapan dan doa agar anak yang dilahirkan
tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.
4)
Dalam Doa dan Mantera
Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan
Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa yang
terdapat pada mantera dan doa dengan nama-nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh
terkenal di dalam Islam.
Cara ini diharapkan masyarakat dapat berpaling dari pemujaan dewa-dewa dan
menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam. Berikut adalah
salah satu contoh mantera dan doa. Mantera dan doa untuk mendapatkan
keperkasaan jasmani.
Bismillahirrahmanirrahim
“Jabarail
sumurup maring Fatimah. Fatimah sumurup maring badandu, kepracaya dening Allah
ta’ala, cik ancik macan putih, mangko iki macan putih saking Allah, la ilaha
illa’llah Muhammda Rasulu’llah”
5) Menggabungkan Agama dengan Budaya
Lokal
Menggabungkan
Islam dengan budaya lokal yang dimaksud dalam konteks ini adalah melaksanakan
syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa. Misalnya dalam rangka memperingati
hari Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara keratabasa,
‘kupat’ dapat diartikan ngaku lepat. Hal ini merupakan simbolisasi dari perintah
meminta maaf kepada orang lain pada hari raya yang penuh kebahagiaan ini.
Adapun lontong, secara keratabasa dapat diartikan sebagai olone
kothong’kesalahannya kosong/habis. Hal ini merupakan simbolisasi dari doa
agar semua dosanya termaafkan sehingga dirinya bersih dan suci dari dosa yang
pernah menghinggapi.
Meskipun
sama-sama menggabungkan unsur-unsur ajaran dari dua atau lebih agama/aliran
yang berbeda, contoh-contoh sinkretisasi di atas tidaklah sama tingkatannya.
Ada yang sudah menyentuh dataran aqidah, yang sebagian besar ulama sepakat
untuk menolaknya, ada yang menyentuh rituak, yang para ulama berselisih
pendapat di dalamnya, dan ada yang hanya menyentuh pada tingkatan budaya
(akulturasi) yang sebagian besar ulama sepakat untuk menerimanya, karena mereka
menganggapnya sebagai bagian dari urusan duniawi.
4. Reaksi Terhadap Usaha
Sinkretisasi
Muncul tiga pendapat dalam menghadapi
sinkretisasi ajaran-ajaran Islam dengan tradisi
Jawa pra Islam. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim taat, yang apabila
ditanya tentang landasan dalam
mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasannya adalah Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Akan tetapi, meskipun
mereka mempunyai landasan yang sama, implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya.
Kelompok pertama adalah yang
berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersifat
hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama
yang dianggapnya berbau tahayul, khurafat dan syirik. Bagi yang menerima
pendapat ini, Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah mengatur semua peri kehidupan serta
tata cara ritual dan
kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak
diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak perlu, dan bahkan haram
dikerjakan.
Kelompok kedua adalah
kelompok moderat. Orang-orang yang berada didalam kelompok ini beranggapan
bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikmah (cara yang bijak). Oleh karena
itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah khadung mbalung sungsum dengan
tradisi-tradisi dan adat istiadat lama, tidak boleh dilakukan cara-cara radikal
yang justru dapat menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah. Oleh karena itu,
upacara-upacara slametan yang
berkaitan dengan siklus kehidupan yang tidak ada tuntutannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak
dilarang, tetapi dibiarkannya tetap berlangsung dengan modifikasi dan memasukan
unsur-unsur islam kedalamnya. Munawir Sadzali, orang yang pernah menjabat dua
periode dalam kedudukan sebagai menteri agama RI, dalam beberapa
kesempatan mengkiaskan kasus tersebut dengan sebuah botol yang berisi anggur
memabukkan. Anggur di dalam botol dibuang dan kemudian digantinya dengan
air tawar. Dengan demikian, secara lahiriah upacara-upacara
tersebut masih tetap berlangsung, tetapi esensinya telah berubah dari pra
lslam ke Islam.
Dalam menghadapi budaya dan tradisi lokal,
Kuntowijoyo, budayawan yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan suatu
organisasi keagamaan yang berusaha membersihkan ajaran Islam dari tradisi dan
adat istiadat lokal, menyarankan agar para mubaligh dan pemimpin Islam
memberikan apresiasi terhadap praktek budaya dan budaya lokal. Jika
tidak dilakukan, ulama dan pemimpin Islam harus rela untuk kehilangan
banyak umat. Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi budaya dan
tradisi lokal, Syah Waliyullah ad-Dihlawi menyarankan adanya perbedaan antara
Islam Universal dan Islam yang mempunyai corak lokal.
Islam universal mengandung ajaran-ajaran dasar
kongkret yang tidak berubah dengan perubahan ruang dan waktu, sedangkan
Islam lokal mempunyai corak yang ditentukan oleh kondisi dan situasi tempat
yang bersangkutan. Dengan demikian,
di setiap tempat akan dijumpai Islam yang diwarnai oleh tradisi lokal.
Maka dapat dijumpai Islam yang bercorak Persia, lslam yang bercorak
India, Islam yang bercorak Amerika, lslam yang bercorak Jawa,
dan sebagainya.
Contoh riil dari langkah moderat dalam menghadapi
tradisi dan adat istiadat lama telah ditunjukkan para
mubaligh dan dari yang pertama-tama
menyiarkan dan menyebarkan lslam di kalangan masyarakat Jawa. Masyarakat
menyebut mereka Walisongo berdasarkan jumlah mereka yang sembilan. Dalam
menghadapi tradisi dan kepercayaan lama, mereka menyeleksi kepercayaan mana
yang dapat diakomodasikan dan dikompromikan, serta mana yang harus ditolak dan
dihilangkan. Maka ketika melihat bahwa wayang purwa (wayang kulit),
yang merupakan gubahan dari epik Ramayana dan Mahabarata telah menjadi bagian
tak terpisahkan masyarakat Jawa, para wali mengadakan perubahan secara
halus, sehingga tanpa terasa nilai-nilai Islam dapat masuk kedalam karya
adiluhung yang dikagumi banyak orang ini. Oleh karenanya dalam
perkembangan selanjutnya, wayang bukan saja absah sebagai sarana hiburan,
tetapi juga media dakwah yang cukup efektif.
Dalam menghadapi kepercayaan-kepercayaan dan tradisi
tradisi yang beraneka ragam, para wali tidak mengambil semuanya untuk digubah dan dimodifikasikan hingga sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam. Pada hal-hal yang sama sekali tidak dapat
dikompromikan ditinggalkan dan dibuang. Kisah hukuman mati yang
dijatuhkan kepada Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar karena dianggap telah
menyimpang terlalu jauh dari ajaran Islam merupakan simbol bahwa tidak semua
kepercayaan lama bisa diakomodasikan dan dikompromikan ke dalam ajaran-ajaran
Islam. Adapun hal-hal yang tidak substansial dimodifikasi, dan kemudian
dilestarikan dengan diwarnai unsur-unsur dari ajaran-ajaran Islam.
Kelompok ketiga adalah mereka yang dapat menerima
sinkretisme secara keseluruhan. Yang menerima pemikiran ini, pertama, adalah mereka yang mengikuti langkah Empu
Tantular dalam menghadapi perbedaan ajaran antara satu agama dengan
lainnya, sebagaimana telah didiskusikan di atas. Karena
berkeyakinan bahwa semua agama beresensi sama, mereka beranggapan bahwa
tidak salah apabila pemeluk suatu agama mengambil tata cara ritual dan
kepercayaan agama lain dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Oleh karena itu, mereka menganggap suatu hal yang wajar apabila seorang
penganut agama Budha melakukan ritual bersama orang Hindu, orang Nasrani
menjalankan pemujaan bersama para penganut Tao, dan orang Islam
mengadopsi tata cara semedi kepercayaan pra Islam dan sebagainya. Kedua,
adalah mereka yang kurang mendalam pengetahuannya tentang Islam. Mereka tidak
dapat membedakan antara ajaran Islam yang sebenarnya dan tradisi lokal
yang sudah bercampur menjadi satu sehingga sulit dipilah-pilahkan antara
keduanya, kecuali dengan pengkajian yang teliti dan mendalam.
Masyarakat beranggapan bahwa tradisi adalah bagian
yang tak terpisahkan dari agama karena adanya pencampuradukkan antara agama dan tradisi. Akibatnya, masyarakat
terbebani oleh dua hal, agama dan tradisi yang sudah dianggap sebagai
agama. Misalnya dalam masalah kelahiran bayi, Islam mensyariatkan aqiqah
dengan menyembelih seekor kambing untuk bayi perempuan, dan dua ekor
kambing untuk bayi laki-laki. Akan tetapi, karena mengikuti tradisi lokal
kedua orang tua bayi tersebut, di samping menyembelih kambing untuk aqiqah juga harus mengadakan beberapa
upacara seperti ngupati (ketika janin berusia empat bulan), tingkeban/ mitoni (janin berusia tujuh
bulan), brokohan sepasaran,
selapanan, tedhak siten, tetesan/kafad (khitanan untuk anak
perempuan), khitanan untuk anak laki- laki, windon (hari ulang
tahun kedelapan) dan sebagainya, yang kesemuanya membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Bagi keluarga yang mampu keuangannya, biaya untuk
melaksanakan upacara-upacara tersebut tidak menimbulkan masalah, bahkan
hal-hal tersebut bisa digunakan untuk menunjukkan kekayaan dan status sosialnya
yang tinggi, dengan menghadirkan pertunjukan wayang sehari semalam dan
hiburan-hiburan lainnya. Tapi bagi yang kurang mampu, pembiayaan
untuk upacara-upacara tersebut menjadi beban berat bagi keluarga,
sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa pelaksanaan ajaran Islam itu
berat. Melihat kenyataan ini Syah Waliyullah ad-Dihlawi menegaskan bahwa
masalah tersebut telah menyebabkan kelemahan umat Islam. Oleh karena itu ia
menfatwakan hendaknya umat Islam mampu membedakan antara ajaran agama dan
tradisi, serta antara Islam universal dan Islam lokal.
B. Akulturasi
1.
Pengertian Akulturasi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi merupakan
proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling
mempengaruhi; proses masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu
masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur
kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.
Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latin “acculturate” yang
berarti “tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum, pengertian akulturasi (acculturation)
adalah perpaduan budaya yang kemudian menghasilkan budaya baru tanpa
menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut. Misalnya proses
pencampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan berlangsung dalam
waktu yang lama sehingga bisa saling mempengaruhi.
Pengertian akulturasi menurut Koentjaraningrat adalah suatu proses
sosial yang terjadi jika terdapat kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya proses
akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity), yaitu penerimaan
kebudayaan tanpa rasa terkejut, kemudian adanya keseragaman (homogenity)
seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya.
Dalam proses akulturasi, semua perbedaan yang ada akan berjalan beriringan
dengan semua unsur persamaan yang mereka miliki sampai pada akhirnya budaya
yang memiliki pengaruh lebih kuat akan berperan besar dalam akulturasi.
2.
Periode
Akulturasi
Dalam perkembangannya, terdapat tiga periode akulturasi yang
terjadi di Indonesia, yaitu:
a.
Periode
Awal (Abad 5-11 Masehi)
Pada
periode ini, unsur Hindu Budha sangat kuat dan menonjol, sedangkan unsur
kebudayaan Indonesia sendiri lebih terdesak. Bukti: ditemukannya berbagai macam
patung dewa, diantaranya adalah Brahma, Siwa, Wisnu, dan Budha yang tersebar
kdi kerajaan-kerajan sperti Tarumanegara, Kutai, dan Mataram Kuno.
b.
Periode
Pertengahan (Abad 11-16 Masehi)
Pada
periode ini, unsur Hindu-Bdha dan Indonesia dsudah mulai berimbang dan kemudian
menyebabkan munculnya sinkretisme (perpaduan antara dua atau lebih
aliran budaya). Bukti: peninggalan zaman kerajaan yang ada di Jawa Timur
seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Di Jawa Timur sendiri telah lahir
aliran Tantrayana, yaitu suatu aliran religi yang merupakan sebuah sinkretisme
dari kepercayaan Indonesia asli dengan agama Hindu Budha.
c.
Periode
Akhir (Abad 16-sekarang)
Pada periode ini, unsur budaya Indonesia lebih kuat dari sebelumnya
dibandingkan dengan unsur budaya Hindu-Budha. Hal ini disebabkan karena
perkembangan politik dan ekonomi di India yang tidak stabil.
3.
Contoh
Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Budha
7
Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu Budha dengan kebudayaan Lokal
asli Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Contoh akulturasi seni rupa dan seni ukir
Adanya
pengaruh dari India membawa perkembangan di dalam bidang Seni Rupa, ukir maupun
pahat. Hal ini ditunjukkan pada seni ukir atau relief-relief yang
dipahat di bagian dinding candi. Misalkan Relief yang dipahat pada Candi
Borobudur yang berupa pahatan riwayat sang Budha.
b. Contoh akulturasi seni bangunan
Bentuk bangunan candi
di Indonesia pada umumnya adalah bentuk akulturasi antara unsur budaya Hindu
Budha dengan budaya Lokal asli Indonesia. Bangunan yang megah, patung-patung
perwujudan Buddha / dewa, serta bagian dari stupa dan candi merupakan
unsur-unsur dari India. Bentuk candi di Indonesia pada hakikatnya merupakan
punden berundak yang merupakan unsur asli Indonesia. Candi Borobudur adalah
salah satu dari contoh akulturasi tersebut.
c. Contoh akulturasi seni aksara dan seni sastra
Masuknya
budaya India di Indonesia membawa pengaruh perkembangan seni sastra yang cukup
besar di Indonesia. Seni Sastra pada masa itu ada yang berbentuk puisi dan ada
juga yang berbentuk prosa. dilihar dari isinya, kesusastraan dikelompokkan
menjadi 3, yaitu:
·
Kitab hukum
·
Tutur (Pitutur kitab keagamaan)
·
Wiracarita (Kepahlawanan)
Bentuk
wiracarita sangat populer di Indonesia, misalnya seperti Bharatayuda, yang
digubah Mpu Panuluh dan Mpu Sedah.
d. Contoh akulturasi seni pertunjukkan
JLA
Brandes berpendapat bahwa Gamelan adalah salah satu instrumen diantara seni
pertunjukan asil yang dimiliki oleh Indonesia sebelum unsur-unsur budaya dari
India masuk. Selama berabad-abad, gamelan telah mengalami perkembangan dengan
masuknya unsur budaya baru baik pada segi bentuk maupun kualitas.
Macam-macam gamelan itu sendiri
dapat dikelompokkan dalam:
·
Xylophones
·
Chordophones
·
Membranophones
· Aerophones
·
Tidophones
e. Contoh akulturasi sistem kepercayaan
Sejak
masa pra aksara, masyarakat di Kepulauan Indonesia sudah mengenali adanya
simbol-simbol yang bermakna filosofis. Misalnya jika terdapat orang yang
meninggal, di dalam kuburnya disertai dengan beberapa benda. Diantara benda
tersebut biasanya terdapat lukisan orang yang sedang naik perahu, yang bermakna
bahwa orang yang telah wafat, rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat
tujuan yang membahagiakan yakni alam baka. Masyarakat pada kala itu sudah
percaya bahwa adanya kehidupan setelah mati yakni sebagai roh-roh halus. Maka,
roh nenek moyang mereka dipuja oleh orang yang masih hidup.
Sesudah
masuknya pengaruh India, kepercayaan atas roh halus tidak hilang. Contohnya bisa
dilihat pada fungsi candi. Fungsi kuil atau candi di India ialah sebagai tempat
pemujaan. Sedangkan di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi
juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang sudah
meninggal. Hal Ini jelas sebagai perpaduan antara fungsi candi di India dan
tradisi pemakaman serta pemujaan roh nenek moyang yang sudah ada di Indonesia.
f. Contoh akulturasi arsitektur
Bangunan
keagamaan seperti candi sangat dikenal pada masa Hindu Budha. Hal tersebut
terlihat jelas di mana pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu, seperti
Cadi Gedungsongo maupun Candi Sewu. Bangunan pertapaan wihara juga merupakan
bangunan yang berundak. Terlihat di beberapa Candi Tikus, Candi Jalatunda, dan
Candi Plaosan. Bangunan suci berundak tersebut sebenarnya telah berkembang
pada zaman pra aksara, yang menggambarkan alam semesta yang bertingkat. Tingkat
paling atas adalah tempat semayam para roh leluhur (nenek moyang).
g. Contoh akulturasi sistem kepercayaan
Sesudah datangnya Budaya India di
Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan
yang dimaksud ialah semacam pemerintah di suatu daerah tertentu (seperti desa).
Rakyat mengangkat seorang kepala suku (pemimpin). Orang yang dipilih sebagai
kepala suku biasanya orang yang sudah tua (senior) dapat membimbing, berwibawa,
arif, memiliki kelebihan tertentu seperti di bidang ekonomi dan biasanya
dianggap mempunyai semacam kekuatan gaib atau kesaktian. Sesudah pengaruh
budaya India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja kemudian wilayahnya
disebut sebagai wilayah kerajaan. Contohnya seperti di Kutai.
DAFTAR
PUSTAKA
Ciptoprawiro,
Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Hardjowiraga, Marbangun. 1980. Adat
Istiadat Jawa. Bandung: Patma
Kamajaya, Karkono. 1995. Kebudayaan
Jawa, Perpaduannya Dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI DIY
Koentjaraningrat. 1982. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
Gramedia
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan
Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nurhadiantomo dkk,
(penyunting). 1989. Muhammadiyah di
Penghujung Abad 20. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Poedjosoebroto, R.. 1978. Wayang
Lambang Ajaran Islam. Jakarta: , Pradanya Paramita
Shadily, Hassan (Pemimpin Redaksi). 1990. Ensiklopedi Indonesia VI. Jakarta: Lehitar Baru Van Hoeve.
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita. Jakarta: UI Press.
Steenbrink,
Karel A.. 1988. Mencari
Tuhan Dengan Kacamata Barat. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Pers
Sujamto. 1997. reorientasi dan revialisasi pandangan hidup
jawa. Semarang: Dahara Prize
Tim
Penyusun Kamus KBBI. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Tim
Penyusun Kamus KBBI. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. hal. 18