Minggu, 26 November 2017

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU - Ilmu Tuhan Kalah dengan Ilmu Politik


Refleksi Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Pertemuan Keempat Tanggal 17 Oktober 2017
Assalamu’alaikum wr. wb.
Seperti biasa, kuliah Filsafat Ilmu dimulai dengan tes jawab singkat yang sangat bermanfaat sekali bagi kehidupan sehari-hari meskipun tak sedikit yang mendapat nilai nol. Hehe.... hal itu disebabkan karena pertanyaan yang sama di waktu yang berbeda akan memiliki jawaban yang berbeda pula.
Berikut adalah tes jawab singkat yang Prof. Marsigit berikan.

No.
Pertanyaan
Jawaban
       1
Kapan?
Belum tentu ketika
           2
Bagaimana?
Mengada
           3
Mengapa?
Terpilih
           4
Untuk apa?
Pengada
           5
Siapa?
Subyek atau obyek
           6
Dimana?
Belum tentu di sini
           7
Kemana?
Ke perbatasan
           8
Dengan siapa?
Dengan sifat
           9
Berapa?
Kuantitatif
          10
Apa kabar?
Fondamen (untuk membicarakan berikutnya)
          11
Hello?
Fondamen
          12
Yang terhormat. Yang saya hormati.
Intensi
          13
Hadirin wal hadirat
Intensi
          14
Marilah !
Determin
          15
Hendaknya
Determin
          16
Kita dapat saling menjaga
Hermeneutika
          17
Saling menghormati
Hermeneutika (terjemah dan menterjemahkan)
          18
Barang siapa
Aturan
          19
Benar adalah benar
Identitas
          20
Salah adalah salah
Identitas
          21
Manusia adalah umat
Obyek
          22
Manusia
Predikat
          23
Oleh karena itu
Koherensi
          24
Sebenar-benar
Absolut
          25
Harus
Determin

Ilmu dimulai dengan bertanya, begitulah kira-kira prinsip Prof. Marsigit mengenai urgensi bertanya.
            Salah satu pertanyaan diajukan oleh Saudara Wildan yang meminta komentar Prof. mengenai dunia perpolitikan, yaitu mahasiswa yang ditangkap karena melakukan demonstrasi. Beliau memberikan arahan agar sebelum melakukan kegiatan demonstasi sebaiknya mahasiswa terlebih dahulu membaca atauran atau tata tertib dalam melakukan demonstrasi agar tidak ditangkap. Dunia politik itu kejam. Ilmu politik dapat mengalahkan ilmunya Tuhan. Jika boleh berpendapat, saya setuju dengan pendapat ini. Itulah kenapa saya tidak berkeinginan untuk terjun dalam dunia politik. Ilmu tertinggi adalah spiritual, tak ada yang mampu melebihi kuasa Tuhan. Jika ada yang menandingi kuasa Tuhan itu artinya ia sudah menyekutukan Tuhan.
            Saya menjadi teringat ketika saya berbaur dengan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia politik. Melakukan kegiatan mencuri dan berbohong merupakan kegiatan yang lazim bagi mereka. Mereka berpendapat bahwa itu adalah taktik politik untuk mendapatkan kekuasaan atau sesuatu yang mereka inginkan. Melihat hal itu, saya berusaha membuka hati mereka dengan menjelaskan bahwa perbuatan itu tidak baik. Bagaimana jika perbuatan yang mereka lakukan kepada orang lain berbalik kepada mereka sendiri, misalnya dicuri atau dibohongi. Mereka menjawab akan membalasnya lagi dan begitu seterusnya berbalas-balasan perbuatan yang tidak baik. Ya seperti itulah kira-kira perpolitikan. Hingga akhirnya saya menyerah dan pelan-pelan pergi dari dunia mereka.
            Hal itu seperti gambaran dunia perpolitikan Indonesia saat ini. Kasus korupsi merajalela. Orang yang dipercaya rakyat mampu membela rakyat ternyata justru merampas hak rakyatnya. Tak mengherankan kasus tersebut terjadi jika sejak kecil mindset mencuri dan berbohong itu wajar dan sah-sah saja. Miris memang dengan terjadinya kasus korupsi yang dilakukan oleh ketua DPR. Kejadian tersebut tentu sangat melukai hati rakyat.
            Berdasarkan uraian di atas, bukan berarti kita tidak boleh berbohong karena bohong itu ada yang baik dan ada yang buruk. Bohong diperbolehkan jika memiliki tujuan untuk menciptakan suasana harmoni dalam hidup, misalnya untuk mendamaikan dua orang atau lebih yang sedang bertengkar atau berbohong dalam kehidupan suami istri untuk menghindari pertengkaran. Namun demikian, perlu dicamkan dalam mindset kita bahwa bohong itu sesuatu yang tidak baik jika tidak sesuai pada ruang dan waktu.

Senin, 06 November 2017

MAKALAH SKI DAN BUDAYA LOKAL - Sinkretisme dan Akulturasi



                                           MAKALAH
SINKRETISME DAN AKULTURASI  
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah SKI & Budaya Lokal
Dosen Pengampu : Muh Fatkhan, S.Ag, M.Hum
Asisten : Sumarni Aini Chabibah S.S, M.Hum






Disusun Oleh :
            Nama
NIM
-          Jaesyi Muhammad Hasan
15600004
-          Shevi Ikhsan
1560000
-          Rita Maelisa
15600007
-           
156000
-          Nurika Miftahuljannah
12600028



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUNAN KALIJAGA
2016


SINKRETISME DAN AKULTURASI
PEMBAHASAN
A.  Sinkretisme
1.    Pengertian Sinkretisme
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Sedangkan pengertiannya adalah suatu gerakan dibidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan. Tercatat pada abad ke-2 dan ke-4 aliran Neo Platonisme berusaha menyatukan agama-agama penyembah berhala. Selanjutnya, pada masa Renaisan muncul usaha untuk menyatukan antara gereja Katolik Timur dan Katolik Barat. Selain itu pernah muncul gerakan untuk mengawinkan antara aliran Lutherian dengan aliran-aliran lain dalam Protestan. Dalam bidang filsafat pernah muncul usaha untuk mengharmoniskan pertentangan antara pemikiran Plato dan Aristoteles. Simuh menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama yang berbeda dan dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte, dan bahkan agama. Sebagai contoh dari sinkretisasi antara dua agama yang berbeda adalah penggabungan antara agama Islam dan Hindu di India, seperti yang dilakukan oleh Guru Nanak (1469-1538).[1]
Ketika melihat adanya konflik yang berkepanjangan antara pemeluk agama Islam dan agama Hindu, Guru Nanak berinisiatif untuk menggabungkan ajaran-ajaran kedua agama besar tersebut dengan mengambil unsur-unsur yang dianggap baik dari keduanya sebagai ajaran agama baru yang dibentuknya. Gabungan kedua agama ini disebut agama Sikh, dengan ajaran-ajaran sebagai berikut :
1.      Percaya satu tuhan (Hari)
2.      Melarang pemujaan arca-arca keagamaan
3.      Percaya reinkarnasi dan hukum karma
4.      Membuang upacara-upacara keagamaan
5.      Mengajarkan persamaan hak dan martabat laki-laki dan wanita
6.      Menghindari kegiatan keduniawian
7.      Menjauhi minuman keras dan rokok
8.      Menjalankan hidup damai dan benar.
Dari ajaran-ajaran diatas terlihat bahwa agama Sikh sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam (percaya kepada Tuhan yang satu dan melarang pemujaan terhadap arca) dan ajaran-ajaran Hindu (percaya kepada reinkarnasi dan hukum karma).
Di kalangan masyarakat Jawa pernah terjadi penggabungan antara dua agama, yaitu agama Budha dan agama Hindu (Siwa). Kedua agama tersebut mempunyai persamaan dan sekaligus perbedaan. Namun pada kurun tertentu kedua agama ini telah diamalkan sekaligus secara bersama-sama oleh masyarakat Jawa. Hal ini dibuktikan ketika Wishnuwardana wafat, nisannya di Waleri berbentuk patung Siwa, sedangkan di Jajaghu berbentuk Budha. Begitu pula candi di Prigen telah digunakan untuk pemujaan para pemeluk agama Siwa maupun Budha.[2]
Langkah sinkretisme telah ditunjukan antar orang-orang Islam (penganut aliran “Wektu Telu”) dan Hindu disuatu tempat di Pulau Lombok, dengan mendirikan Pura Lingsar. Sebagai pura, bangunan ini digunakan untuk tempat ritual pemeluk Hindu. Namun keistimewaannya, tempat ini juga digunakan sholat orang-orang beraliran Wektu Telu. Di dalam pura tersebut terdapat simbol-simbol keislaman, seperti tangga beranak 17 yang menunjukan jumlah rokaat sholat, lima buah pancuran yang menunjukan rukun islam yang lima, dan sebagainya.
Para pengamat menyebut hal itu sebagai sinkretisasi karena merupakan penggabungan dua agama yang berbeda tapi sebagian lain mengatakan bahwa hal itu bukan merupakan sinkretisasi, melainkan buah dari sikap toleran mendalam yang dilandasi oleh semangat untuk menghormati dan menghayati, serta mengamalkan semua nilai kebenaran, darimanapun sumbernya. Semangat tersebut diadopsi dari Empu Tantular yang mengatakan Bhineka Tunggal Ika ‘berbeda-beda tetapi tetap satu ‘ dan tan hana dharma mangrwa ‘tidak ada kebenaran ganda’.[3]
Dalam memaknai bhinneka tunggal ika ini, mereka mengartikannya bukan sekedar, “walaupun berbeda beda suku dan baangsa tetapi tetap satu”, tetapi mereka menambahkan” walaupun berbeda-beda, semua agama itu pada hakikatnya tetap satu”. Mereka beranggapan walaupun secara lahiriyah semua agama berbeda, tetapi pada hakikiatnya satu, yaitu menuju Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, bagi mereka tidak ada halangan bagi pemeluk sesuatu agama untuk mengambil ajaran dan ritual dari agama lain sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya. Hal itu dianggap suatu ajaran apabila pemeluk agama Siwa atau Hindu mengambil unsur-unsur dari ajaran agama Budha, dan sebaliknya pemeluk ajaran Budha mengambil ajaran dari unsur Hindu.
Abdulllah Ciptoprawiro, seorang dokter yang mengajar filsafat Jawa di Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menambahkan berpendapat mengenai hal ini. Beliau berpendapat bahwa dengan tidak memandang asal usulnya, semua hasil pemikiran, pengalaman, dan penghayatan manusia dalam gerak perjalanannya menuju kepada Tuhan dan kesempurnaan dianggap sebagai pola tetap dari pemikiran dan filsafat Jawa. Langkah tersebut diibaratkan sebagai mozaik yang mempunyai nilai tetap, tetapi unsur-unsur di dalamnya atau batu-batunya akan berubah dengan budaya baru.[4] Dengan demikian, menurutnya unsur-unsur agama Budha baik Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan, dan Katholik boleh saja mewarnai usaha-usaha manusia Jawa dalam menggapai kesempurnaan hidup dan Tuhannya, dengan tidak merubah esensinya.
Meskipun singkretisme agama dengan unsur-unsur luar tidak dikehendaki oleh sebagian ulama dan tokoh agama, akan tetapi kenyatannya telah merambah pada semua agama, termasuk Islam. Oleh karena itu, meskipun semua orang Islam mengatakan bahwa dalam beragama mereka selalu berpedoman pada al-Quran dan as-Sunnah, tetapi kenyataan menyunjukkan bahwa disetiap tempat dapat dijumpai amalan Islam yang khas dan berbeda karakter bila dibandingakan dengan tempat-tempat lainnnya. Begitu juga Islam dalam masyarakat Jawa.
Di kalangan masyakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar berusaha menjadi muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannnya. Di samping itu juga terdapat orang-orang yang mengakui bahwa diri mereka muslim, tetapi dalam kesehariannya tampak bahwa ia kurang berusaha untuk menjalankan syariat agamanya dan hidupnya sangat diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan lokal. Selain itu, terdapat pula kelompok yang bersifat moderat. Mereka berusaha mengamalkan semua ajaran-ajaran Islam dengan baik, tetapi juga mengapresiasi dalam batas-batas tertentu terhadap budaya dan tradisi lokal.[5]
Dalam menjelaskan keberagaman masyarakat muslim Jawa, Kuncaraningrat membagi mereka menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam Santri. Agama Islam Jawa kurang taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam, sedangkan agama Islam Santri lebih taat dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan, meskipun masih sedikit terpengaruh oleh animisme, dinamisme, dan Hindu Budha.[6]
2.    Munculnya Islam Sinkretik dalam Masyarakat Jawa
Islam masuk ke Jawa pada dua waktu. Pertama, pada waktu hampir secara keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang pemikiran. Dalam bidang politik, ditandai dengan jatuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1285 M dan tersingirnya Dinasti Al Ahmar di Andalusia (Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada 1492 M. Dalam bidang pemikiran, terjadi stagnansi dalam pemikiran yang sebelumnya telah muncul ulama-ulama besar di bidang hukum, teologi, filsafat, tasawuf, dan sains. Pada masa ini telah semakin berkembang pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan kelompok-kelompok tarekat sesat semakin berkembang di kalangan umat Islam.[7]
Kedua, saat agama Hindu, Budha, dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah beruratakar di kalangan masayarakat Jawa. Kemudian dengan datangnya Islam di Jawa terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya muncul dua kelompok dalam menerima Islam, yaitu:
a.       Kelompok yang menerima Islam secara total dengan tanpa mengingat pada kepercayaan-kepercayaan lama. Hal ini berdasarkan penelitian ulang yang dilakukan oleh Drawes pada tiga manuskrip lama yang berasal pada abad ke-16 atau ke-15 yang menunjukkan tentang Islam ortodok yang dapat diterima oleh semua pihak di kalangan ummat Islam.
b.      Kelompok yang menerima Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama. Oleh karena itu mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa dapat dijumpai tulisan-tulisan, tradisi, dan kepercayaan yang tercampur di dalamnya antara aspek-aspek dari ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama.
Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam Shufi (mistik), yang salah satu ciri khasnya adalah sifatnya yang toleran dan komodotif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, yang dibiarkannya eksis sebagaimana semula, hanya kemudian diwarnai dan diisi dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, islamisasi di Indonesia, termasuk di Jawa, lebih bersifat kontinuitas apa yang sudah ada dan bukannya perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.[8]
Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisasi dan pencampuradukan antara Islam di satu sisi dengan kepercayaan-kepercayaan lama di pihak lain, sehingga sulit dibedakan mana ang benar-benar ajaran Islam dan mana pula yang berasal tradisi. Namun demikian, aspek positifnya ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Begitu juga sebaliknya, ajaran-ajaran tersebut telah memudahkan pihak  Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat Jawa.[9]
Sinkretisme ini semakin mengendap ketika Kerajaan Demak pindah ke Pajang kemudian Mataram, yang keduanya berada di pedalaman. Saat keraton masih berada di Demak, hubungan dengan dunia luar relatif mudah dilakukan karena wilayahnya berada di bibir pantai. Oleh karena itu, ekonomi masyarakatnya digerakkan melalui perdagangan antar pulau sehingga para mubaligh dari luar Jawa dapat menyiarkan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa.
Akan tetapi, setelah keraton pindah ke pedalaman, ekonomi masyarakat lebih bertumpu pada pertanian yang tidak memerlukan mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya. Akibatnya, islamisasi yang sudah berjalan secara evolusif, berhenti, dan menyebabkan tradisi serta kepercayaan lama menjadi marak kembali. Hal ini mencapai puncaknya ketika Belanda datang ke Indonesia yang memonopoli dunia pelayaran di Jawa dan memblokade hubungan antar pulau, sehingga masyarakat tidak lagi mampu berkomunikasi dengan teman-teman mereka di seberang pulau secara leluasa.[10]
3.    Praktek-pratek Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa
Untuk mengkonkretkan pengertian dan pemahaman tentang pelaksanaan sinkretisme antara unsur-unsur dari ajaran Islam dengan agama Budha, Hindu, dan tradisi lokal Jawa, berikut diberikan beberapa contoh.
a.    Penggabungan antara Dua Agama/Aliran atau Lebih
Penggabungan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayaan lokal (Jawa) dengan ajaran-ajaran agama Islam dengan agama-agama lainnya. Sebagai contoh adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oelh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari Desa Sukorejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun. Beliau lahir pada 1875 dan meninggal pada 25 Oktober 1961 (85 tahun). Menurut pengakuannya, ajaran  Islam Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran-ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Apabila ajaran tersebut diteliti ternyata tidak salah. Sebagai contoh aliran yang diajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut:[11]
“Ashadu allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane Mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, Mukamad lan rasul iki tegese cahya, nur johar tegese padhang.”
Artinya:
“Ashadu allah adanya aku, adanya nafas, adanya rasul, adanya johar. Wa ashadu anna adanya hidup, adanya Mukamad, adanya nur, nur artinya terang, johar artinya terang, Mukamad dan rasul artinya cahaya, nur johar artinya terang.”
Diantara ajaran-ajaran aliran ini adalah sebagai berikut:
v  Dalam hidup harus mengerti letak dasar iman, yaitu lafal (ucapan)
1)      Laa ilaaha
2)      Illallah
3)      Allaah
Ketiga ucapan tersebut masing-masing diucapkan tiga kali.
v  Wajib memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu:
1)      Sahadat (syahadat)            : supaya mengerti letak
2)      Salat (shalat)          : menjalankan serta mengerti maksudnya
3)      Jakat (zakat)          : agar mulia Awal-Akhir
4)      Puasa (Saum)         : agar suci Awal-Akhir
5)      Kaji (Haji)             : agar sempurna betulnya
v  Hendaklah memenuhi tentang sembah lima (tata sila), yaitu:
1)      Bapak dan ibu         : ini yang menjadi sebab dilahirkannya di dunia
2)      Mertua laki istri       : inilah yang memberi kesenangan di dunia
3)      Saudara tua             : ini sebagai gantinya orang tua (bapak ibu)
4)      Raja                         : yaitu harus mengikuti apa yang menjadi
pemerintah Republik Indonesia.
5)      Guru                        : ini yang memberi pengajaran yang benar-
benar, agar hatinya dan berguna hidupnya di dunia Awal-Akhir.
b.   Dalam Masalah Kepercayaan
1)   Konsep Mengenai Kosmologi dan Kosmogoni
Kosmogoni berasal dari bahasa Yunani “kosmos” yang berarti dunia, alam ray, dan gignesthai (lahir). Kosmogoni merupahan teori tentang asal mula alam semesta. Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu objek.
Dalam masyarakat Jawa, telah berdar beberapa mite tentang penciptaan alam dan manusia. Meskipun mite-mite tersebut berbeda, tetapi di dalamnya terdapat satu persamaan . Semuanya menyebut Adam sebagai manusia dan nabi pertama. Salah satu mite menyebutkan bahwa Brahma adalah pencipta bumi, sedangkan Wisnu adalah pencipta manusia. Brahma berhasil menciptakan bumi, tetapi gagal menciptakan manusia. Sehingga Brahma menyuruh Wisnu untuk turun ke bumi dan menciptakan manusia. Wisnu kemudian membuat patung yang menyerupai dirinya sendiri menggunakan tanah liat. Patung itu kemudian diisi dengan energi yang terdiri dari jiwa dan sukma (semangat).
Sayangnya dalam penciptaan ini ia lupa untuk memasukkan prana (nafas) ke dalamnya sehingga ciptannya tersebut hancur menjadi ribuan serpihan dan kepingan yang kemudian menghilang dalam kegelapan. Kepingan-kepingan ini berubah menjadi hantu-hantu jahat yang mengganggu alam dewata. Setelah itu Wisnu berusaha sekali lagi untuk melaksanakan perintah Brahma dan akhirnya berhasil menciptakan makhluk yang tampan, sebagai manusia pertama seperti yang diharapkan Brahma. Makhluk ini kemudian diberi nama Adina (Adam).
Setelah manusia dan nabi pertama tercipta, Wisnu sadar bahwa seorang manusia Adam saja belum memadai untuk mengisi dunia ini. Kemudian, terpikirlah oleh Wisnu untuk mencarikan Adam teman. Terlihat setangkai bunga teratai di dalam sebuah kolam, Wisnu kemudian memintanya untuk menjelma menjadi seorang perempuan sebagai teman Adam. Bunga teratai ini kemudian menerima permintaan Wisnu dan menjelmalah ia menjadi perempuan cantik yang diberi nama Kana (Hawa).
Dari uraian di atas, terlihat bahwa mite ini berusaha untuk mengkompromikan antara ajaran Islam dengan penyebutan Adam dan Hawa, dan ajaran Hindu dengan menyebutkan nama Brahma dan Wisnu dalam penciptaan alam dan manusia.[12]
2)   Silsilah Raja-raja Mataram
Silsilah politik ini dibuat untuk menunjukkan bahwa dari garis ibu ereka adalah keturunan wali yang berujung pada Nabi Muhammad (silsilah penengen) dan garis bapak mereka berasal dari keturunan para dewa dan sekaligus Nabi Adam. Sedangkan dari garis ibu disebutkan bahwa mereka berasal dari Syekh Wali Lanang yang merupakan putera dari Syeikh Maulana Ishak bin Syekh Jungeb. Pembuatan silsilah ini dimaksudkan dalam rangka menambah wibaw dan legitimasi raja-raja Mataram yang berasal dari orang biasa (Ki Ageng Panembahan). Berikut ini kutipan bagan silsilah penengen (silsilah dari garis ibu).
a.       Syekh Jungeb (berasala dari Saudi Arabia dan keturunan Nabi Muhammad)
b.      Syekh Maulan Ishak
c.       Syekh Wali Lanang
d.      Sunan Giri I
e.       Sunan Giri II
f.       Ki Ageng Saba
g.      Nyi Ageng Pamenahan (ibu Panembahan Senapati)
Adapun dalam silsilah dari Nabi Adam sampai ke raja-raja Mataram (silsilah pangiwa) adalah sebagai berikut:
1.      Nabi Adam AS
2.      Nabi Sis AS
3.      Sang Hyang Nurcahya
4.      Sang Hyang Nurrasa
5.      Sang Hyang Wenang
6.      Sang Hyang Tunggal
7.      Bathara Guru
8.      Bathara Brama
9.      Bathara Bramani
10.  Tritrusta
11.  Parikenam
12.  Manumanasa
13.  Sakutrem
14.  Sakri
15.  Palasara
16.  Abiasa
17.  Pandu
18.  Arjuna
19.  Abimanyu
20.  Perikesit
21.  Udayana
22.  Gendrayana
23.  Jayabhaya
24.  Jayamilaya
25.  Jayamisena
26.  Kusumawicitra
27.  Citrasoma
1.      Pancadriya
2.      Anglingdriya
3.      Suwalacala
4.      Mahapunggung
5.      Kandiawan
6.      Resi Gentayu
7.      Lembu Ambilihur
8.      Panji
9.      Kuda Lalean
10.  Banjaran Sari
11.  Munding Sari
12.  Munding Wangi
13.  Pamekas
14.  Susuruh
15.  Prabu Anom
16.  Adaningkung
17.  Ayam Wuruk
18.  Lembu Amisani
19.  Bra Tanjung
20.  Bra Wijaya
21.  Bondang Kejawan
22.  Gentas Pendawa
23.  Gede Sela
24.  Gede Ngenis
25.  Pemanahan
26.  Senapati
27.  Dan seterusnya
Adanya silsilah pengiwa dan penengen ini diharapkan masyarakat akan mengetahui bahwa raja-raja mereka adalah keturunann dari tokoh-tokoh yang kuat dan terkenal. Uraian di atas menunjukkan sinkretisasi antara ajaran Islam dan Hindu, dengan mengaitkan bahwa manusia adalah keturunan para dewa. Namun ternyata para dewa juga masih keturunan manusia juga, yaitu Adam dan Sis.
3)   Bidang Ritual
a) Upacara Midodareni
Masyarakat tradisional sering mengadakan crisis rites dan rites de passage, yaitu ‘upacara peralihan’ yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat, dan sebagainya.[13] Kegiatan ini dilakukan karena menganggap pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan yang diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkaitan dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, mananam dan memanen padi, serta penghormatan kepada roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang, ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran-ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawanisme (keyakinan dan budaya Jawa).
Upacara midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari mara bahaya yang mengganggu perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Di kalangan muslim yang taat beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan al-Barjanji, kalimah thoyibah, dan tahlil. Akan tetapi, di kalangan masyarakat yang kurang taat dalam beragama, acara ini digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-lekan dan keplek sampai pagi.[14]
b)     Upacara Brokohan dan Sepasaran
Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah dengan menyembelih kambing. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah tersebut. Mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari) sebagai gantinya. Mereka tidak menyembelih kambing dalam melaksanakan kedua slametan ini, tetapi menggantinya dengan sego janganan dan nasi urab. Jika urab pedas, maka tandanya bayi yang dilahirkan laki-laki dan jika bayi yang dilahirkan perempuan, urab sengaja dibuat tidak pedas.[15] Selain itu, apabila yang lahir bayi laki-laki, mereka menambahkan sayur lodeh yang terbuat dari kluwih dengan harapan dan doa agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.

4)   Dalam Doa dan Mantera
Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa yang terdapat pada mantera dan doa dengan nama-nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam.[16] Cara ini diharapkan masyarakat dapat berpaling dari pemujaan dewa-dewa dan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam. Berikut adalah salah satu contoh mantera dan doa. Mantera dan doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani.
Bismillahirrahmanirrahim
“Jabarail sumurup maring Fatimah. Fatimah sumurup maring badandu, kepracaya dening Allah ta’ala, cik ancik macan putih, mangko iki macan putih saking Allah, la ilaha illa’llah Muhammda Rasulu’llah”[17]
5)   Menggabungkan Agama dengan Budaya Lokal
Menggabungkan Islam dengan budaya lokal yang dimaksud dalam konteks ini adalah melaksanakan syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa. Misalnya dalam rangka memperingati hari Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara keratabasa, ‘kupat’ dapat diartikan ngaku lepat.  Hal ini merupakan simbolisasi dari perintah meminta maaf kepada orang lain pada hari raya yang penuh kebahagiaan ini. Adapun lontong, secara keratabasa dapat diartikan sebagai olone kothong’kesalahannya kosong/habis. Hal ini merupakan simbolisasi dari doa agar semua dosanya termaafkan sehingga dirinya bersih dan suci dari dosa yang pernah menghinggapi.
Meskipun sama-sama menggabungkan unsur-unsur ajaran dari dua atau lebih agama/aliran yang berbeda, contoh-contoh sinkretisasi di atas tidaklah sama tingkatannya. Ada yang sudah menyentuh dataran aqidah, yang sebagian besar ulama sepakat untuk menolaknya, ada yang menyentuh rituak, yang para ulama berselisih pendapat di dalamnya, dan ada yang hanya menyentuh pada tingkatan budaya (akulturasi) yang sebagian besar ulama sepakat untuk menerimanya, karena mereka menganggapnya sebagai bagian dari urusan duniawi.[18]
4.    Reaksi Terhadap Usaha Sinkretisasi
Muncul tiga pendapat dalam menghadapi sinkretisasi ajaran-ajaran Islam dengan tradisi Jawa pra Islam. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim taat, yang apabila ditanya tentang landasan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasannya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, meskipun mereka mempunyai landasan yang sama, implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Kelompok pertama adalah yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan bersifat hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau tahayul, khurafat dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah mengatur semua peri kehidupan serta tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan.
Kelompok kedua adalah kelompok moderat. Orang-orang yang berada didalam kelompok ini beranggapan bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikmah (cara yang bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah khadung mbalung sungsum dengan tradisi-tradisi dan adat istiadat lama, tidak boleh dilakukan cara-cara radikal yang justru dapat menjauhkan para mubaligh dari obyek dakwah. Oleh karena itu, upacara-upacara slametan yang berkaitan dengan siklus kehidupan yang tidak ada tuntutannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak dilarang, tetapi dibiarkannya tetap berlangsung dengan modifikasi dan memasukan unsur-unsur islam kedalamnya. Munawir Sadzali,  orang yang pernah menjabat dua periode dalam kedudukan sebagai menteri agama RI,  dalam beberapa kesempatan mengkiaskan kasus tersebut dengan sebuah botol yang berisi anggur memabukkan.  Anggur di dalam botol dibuang dan kemudian digantinya dengan air tawar.  Dengan demikian,  secara lahiriah upacara-upacara tersebut masih tetap berlangsung,  tetapi esensinya telah berubah dari pra lslam ke Islam.
Dalam menghadapi budaya dan tradisi lokal,  Kuntowijoyo,  budayawan yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan suatu organisasi keagamaan yang berusaha membersihkan ajaran Islam dari tradisi dan adat istiadat lokal,  menyarankan agar para mubaligh dan pemimpin Islam memberikan apresiasi terhadap praktek budaya dan budaya lokal.[19] Jika tidak dilakukan,  ulama dan pemimpin Islam harus rela untuk kehilangan banyak umat.  Oleh karena itu,  dalam rangka menghadapi budaya dan tradisi lokal, Syah Waliyullah ad-Dihlawi menyarankan adanya perbedaan antara Islam Universal dan Islam yang mempunyai corak lokal.
Islam universal mengandung ajaran-ajaran dasar kongkret yang tidak berubah dengan perubahan ruang dan waktu,  sedangkan Islam lokal mempunyai corak yang ditentukan oleh kondisi dan situasi tempat yang bersangkutan. Dengan demikian,  di setiap tempat akan dijumpai Islam yang diwarnai oleh tradisi lokal.[20]  Maka dapat dijumpai Islam yang bercorak Persia,  lslam yang bercorak India,  Islam yang bercorak Amerika,  lslam yang bercorak Jawa,  dan sebagainya.
Contoh riil dari langkah moderat dalam menghadapi tradisi dan adat istiadat lama telah ditunjukkan para mubaligh dan dari yang pertama-tama menyiarkan dan menyebarkan lslam di kalangan masyarakat Jawa.  Masyarakat menyebut mereka Walisongo berdasarkan jumlah mereka yang sembilan. Dalam menghadapi tradisi dan kepercayaan lama, mereka menyeleksi kepercayaan mana yang dapat diakomodasikan dan dikompromikan, serta mana yang harus ditolak dan dihilangkan.  Maka ketika melihat bahwa wayang purwa (wayang kulit),  yang merupakan gubahan dari epik Ramayana dan Mahabarata telah menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat Jawa, para wali mengadakan perubahan secara halus,  sehingga tanpa terasa nilai-nilai Islam dapat masuk kedalam karya adiluhung yang dikagumi banyak orang ini.  Oleh karenanya dalam perkembangan selanjutnya,  wayang bukan saja absah sebagai sarana hiburan,  tetapi juga media dakwah yang cukup efektif.[21]
Dalam menghadapi kepercayaan-kepercayaan dan tradisi tradisi yang beraneka ragam, para wali tidak mengambil semuanya untuk digubah dan dimodifikasikan hingga sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.  Pada hal-hal yang sama sekali tidak dapat dikompromikan ditinggalkan dan dibuang.  Kisah hukuman mati yang dijatuhkan kepada Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar karena dianggap telah menyimpang terlalu jauh dari ajaran Islam merupakan simbol bahwa tidak semua kepercayaan lama bisa diakomodasikan dan dikompromikan ke dalam ajaran-ajaran Islam. Adapun hal-hal yang tidak substansial dimodifikasi,  dan kemudian dilestarikan dengan diwarnai unsur-unsur dari ajaran-ajaran Islam.
Kelompok ketiga adalah mereka yang dapat menerima sinkretisme secara keseluruhan.  Yang menerima pemikiran ini, pertama,  adalah mereka yang mengikuti langkah Empu Tantular dalam menghadapi perbedaan ajaran antara satu agama dengan lainnya,  sebagaimana telah didiskusikan di atas.  Karena berkeyakinan bahwa semua agama beresensi sama,  mereka beranggapan bahwa tidak salah apabila pemeluk suatu agama mengambil tata cara ritual dan kepercayaan agama lain dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhannya.  Oleh karena itu,  mereka menganggap suatu hal yang wajar apabila seorang penganut agama Budha melakukan ritual bersama orang Hindu,  orang Nasrani menjalankan pemujaan bersama para penganut Tao,  dan orang Islam mengadopsi tata cara semedi kepercayaan pra Islam dan sebagainya.  Kedua, adalah mereka yang kurang mendalam pengetahuannya tentang Islam. Mereka tidak dapat membedakan antara ajaran Islam yang sebenarnya dan tradisi lokal  yang sudah bercampur menjadi satu sehingga sulit dipilah-pilahkan antara keduanya,  kecuali dengan pengkajian yang teliti dan mendalam.
Masyarakat beranggapan bahwa tradisi adalah bagian yang tak terpisahkan dari agama karena adanya pencampuradukkan antara agama dan tradisi.  Akibatnya,  masyarakat terbebani oleh dua hal,  agama dan tradisi yang sudah dianggap sebagai agama. Misalnya dalam masalah kelahiran bayi, Islam mensyariatkan aqiqah dengan menyembelih seekor kambing untuk bayi perempuan,  dan dua ekor kambing untuk bayi laki-laki. Akan tetapi,  karena mengikuti tradisi lokal kedua orang tua bayi tersebut,  di samping menyembelih kambing untuk aqiqah juga harus mengadakan beberapa upacara seperti ngupati (ketika janin berusia empat bulan),  tingkeban/ mitoni (janin berusia tujuh bulan), brokohan sepasaran,  selapanan,  tedhak siten,  tetesan/kafad (khitanan untuk anak perempuan),  khitanan untuk anak laki- laki,  windon (hari ulang tahun kedelapan)  dan sebagainya,  yang kesemuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.  Bagi keluarga yang mampu keuangannya,  biaya untuk melaksanakan upacara-upacara tersebut tidak menimbulkan masalah,  bahkan hal-hal tersebut bisa digunakan untuk menunjukkan kekayaan dan status sosialnya yang tinggi,  dengan menghadirkan pertunjukan wayang sehari semalam dan hiburan-hiburan lainnya.  Tapi bagi yang kurang mampu,  pembiayaan untuk upacara-upacara tersebut menjadi beban berat bagi keluarga,  sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa pelaksanaan ajaran Islam itu berat.  Melihat kenyataan ini Syah Waliyullah ad-Dihlawi menegaskan bahwa masalah tersebut telah menyebabkan kelemahan umat Islam. Oleh karena itu ia menfatwakan hendaknya umat Islam mampu membedakan antara ajaran agama dan tradisi,  serta antara Islam universal dan Islam lokal.[22]



B.  Akulturasi
1.    Pengertian Akulturasi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi merupakan proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi; proses masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.[23]
Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latin “acculturate” yang berarti “tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum, pengertian akulturasi (acculturation) adalah perpaduan budaya yang kemudian menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut. Misalnya proses pencampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga bisa saling mempengaruhi.
Pengertian akulturasi menurut Koentjaraningrat adalah suatu proses sosial yang terjadi jika terdapat kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan kebudayaan asing yang berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan (affinity), yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut, kemudian adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya. Dalam proses akulturasi, semua perbedaan yang ada akan berjalan beriringan dengan semua unsur persamaan yang mereka miliki sampai pada akhirnya budaya yang memiliki pengaruh lebih kuat akan berperan besar dalam akulturasi.[24]
2.    Periode Akulturasi
Dalam perkembangannya, terdapat tiga periode akulturasi yang terjadi di Indonesia, yaitu:[25]
a.    Periode Awal (Abad 5-11 Masehi)
Pada periode ini, unsur Hindu Budha sangat kuat dan menonjol, sedangkan unsur kebudayaan Indonesia sendiri lebih terdesak. Bukti: ditemukannya berbagai macam patung dewa, diantaranya adalah Brahma, Siwa, Wisnu, dan Budha yang tersebar kdi kerajaan-kerajan sperti Tarumanegara, Kutai, dan Mataram Kuno.
b.    Periode Pertengahan (Abad 11-16 Masehi)
Pada periode ini, unsur Hindu-Bdha dan Indonesia dsudah mulai berimbang dan kemudian menyebabkan munculnya sinkretisme (perpaduan antara dua atau lebih aliran budaya). Bukti: peninggalan zaman kerajaan yang ada di Jawa Timur seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Di Jawa Timur sendiri telah lahir aliran Tantrayana, yaitu suatu aliran religi yang merupakan sebuah sinkretisme dari kepercayaan Indonesia asli dengan agama Hindu Budha.
c.    Periode Akhir (Abad 16-sekarang)
Pada periode ini, unsur budaya Indonesia lebih kuat dari sebelumnya dibandingkan dengan unsur budaya Hindu-Budha. Hal ini disebabkan karena perkembangan politik dan ekonomi di India yang tidak stabil.
3.    Contoh Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Budha
7 Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu Budha dengan kebudayaan Lokal asli Indonesia adalah sebagai berikut:[26]
a.    Contoh akulturasi seni rupa dan seni ukir
Adanya pengaruh dari India membawa perkembangan di dalam bidang Seni Rupa, ukir maupun pahat. Hal ini ditunjukkan pada seni ukir atau relief-relief yang dipahat di bagian dinding candi. Misalkan Relief yang dipahat pada Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat sang Budha.
b.   Contoh akulturasi seni bangunan
Bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya adalah bentuk akulturasi antara unsur budaya Hindu Budha dengan budaya Lokal asli Indonesia. Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan Buddha / dewa, serta bagian dari stupa dan candi merupakan unsur-unsur dari India. Bentuk candi di Indonesia pada hakikatnya merupakan punden berundak yang merupakan unsur asli Indonesia. Candi Borobudur adalah salah satu dari contoh akulturasi tersebut.
c.    Contoh akulturasi seni aksara dan seni sastra
Masuknya budaya India di Indonesia membawa pengaruh perkembangan seni sastra yang cukup besar di Indonesia. Seni Sastra pada masa itu ada yang berbentuk puisi dan ada juga yang berbentuk prosa. dilihar dari isinya, kesusastraan dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
·       Kitab hukum
·       Tutur (Pitutur kitab keagamaan)
·       Wiracarita (Kepahlawanan)
Bentuk wiracarita sangat populer di Indonesia, misalnya seperti Bharatayuda, yang digubah Mpu Panuluh dan Mpu Sedah.
d.   Contoh akulturasi seni pertunjukkan
JLA Brandes berpendapat bahwa Gamelan adalah salah satu instrumen diantara seni pertunjukan asil yang dimiliki oleh Indonesia sebelum unsur-unsur budaya dari India masuk. Selama berabad-abad, gamelan telah mengalami perkembangan dengan masuknya unsur budaya baru baik pada segi bentuk maupun kualitas.
Macam-macam gamelan itu sendiri dapat dikelompokkan dalam:
·       Xylophones
·       Chordophones
·       Membranophones
·       Aerophones
·       Tidophones
e.    Contoh akulturasi sistem kepercayaan
Sejak masa pra aksara, masyarakat di Kepulauan Indonesia sudah mengenali adanya simbol-simbol yang bermakna filosofis. Misalnya jika terdapat orang yang meninggal, di dalam kuburnya disertai dengan beberapa benda. Diantara benda tersebut biasanya terdapat lukisan orang yang sedang naik perahu, yang bermakna bahwa orang yang telah wafat, rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yakni alam baka. Masyarakat pada kala itu sudah percaya bahwa adanya kehidupan setelah mati yakni sebagai roh-roh halus. Maka, roh nenek moyang mereka dipuja oleh orang yang masih hidup.
Sesudah masuknya pengaruh India, kepercayaan atas roh halus tidak hilang. Contohnya bisa dilihat pada fungsi candi. Fungsi kuil atau candi di India ialah sebagai tempat pemujaan. Sedangkan di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang sudah meninggal. Hal Ini jelas sebagai perpaduan antara fungsi candi di India dan tradisi pemakaman serta pemujaan roh nenek moyang yang sudah ada di Indonesia.
f.     Contoh akulturasi arsitektur
Bangunan keagamaan seperti candi sangat dikenal pada masa Hindu Budha. Hal tersebut terlihat jelas di mana pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu, seperti Cadi Gedungsongo maupun Candi Sewu. Bangunan pertapaan wihara juga merupakan bangunan yang berundak. Terlihat di beberapa Candi Tikus, Candi Jalatunda, dan Candi Plaosan. Bangunan suci berundak tersebut sebenarnya telah berkembang pada zaman pra aksara, yang menggambarkan alam semesta yang bertingkat. Tingkat paling atas adalah tempat semayam para roh leluhur (nenek moyang). 
g.    Contoh akulturasi sistem kepercayaan
Sesudah datangnya Budaya India di Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan yang dimaksud ialah semacam pemerintah di suatu daerah tertentu (seperti desa). Rakyat mengangkat seorang kepala suku (pemimpin). Orang yang dipilih sebagai kepala suku biasanya orang yang sudah tua (senior) dapat membimbing, berwibawa, arif, memiliki kelebihan tertentu seperti di bidang ekonomi dan biasanya dianggap mempunyai semacam kekuatan gaib atau kesaktian. Sesudah pengaruh budaya India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja kemudian wilayahnya disebut sebagai wilayah kerajaan. Contohnya seperti di Kutai.[27]
DAFTAR PUSTAKA
Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Hardjowiraga, Marbangun. 1980. Adat Istiadat Jawa. Bandung:  Patma
Kamajaya, Karkono. 1995. Kebudayaan Jawa, Perpaduannya Dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI DIY
Koentjaraningrat. 1982. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Gramedia
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta:  Bulan Bintang
Nurhadiantomo dkk, (penyunting). 1989. Muhammadiyah di Penghujung Abad 20. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Poedjosoebroto, R.. 1978. Wayang Lambang Ajaran Islam. Jakarta: , Pradanya Paramita
Shadily, Hassan (Pemimpin Redaksi). 1990. Ensiklopedi Indonesia VI. Jakarta: Lehitar  Baru Van Hoeve.
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI Press.
Steenbrink, Karel A.. 1988. Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat. Yogyakarta: IAIN   Sunan Kalijaga Pers
Sujamto. 1997. reorientasi dan revialisasi pandangan hidup jawa. Semarang: Dahara  Prize
Tim Penyusun Kamus KBBI. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:  Balai Pustaka
http://carajuki.com/inilah-pengertian-dan-contoh-akulturasi-budaya/ diakses pada tanggal 2 April 2016 pada pukul 15.08 WIB

http://www.markijar.com/2016/01/7-akulturasi-kebudayaan-nusantara-dan.html diakses pada tanggal 2 April 2016 pukul 16.00 WIB



[1]
[2] Sujamto, reorientasi dan revialisasi pandangan hidup jawa, Dahara Prize, Semarang, 1997, hlm. 18
[3] Ibid., hlm. 19
[4] Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 27
[5]
[6] Kodiran, Kebudayaan Jawa,1975, hlm. 310-311
[7]
[8]
[9]
[13] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 243-244
[15] Marbangun Hardjowiraga, Adat Istiadat Jawa, Patma, Bandung, 1980, hlm. 133-134
[16] Karkono Kamajaya, Kebudayaan Jawa, Perpaduannya Dengan Islam,IKAPI DIY, Yogyakarta, 1995, hlm. 292-293
[17] Wirjapanitra (ed), Wejangan Walisongo, Sadu Budhi, t.th, hlm 10
[19] Nurhadiantomo dkk, (penyunting), Muhammadiyah di Penghujung Abad 20. Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1989, hlm. 415
[20] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 20-21
[21] R. Poedjosoebroto, Wayang Lambang Ajaran Islam, Pradanya Paramita, Jakarta, 1978, hlm. 17-18
[23] Tim Penyusun Kamus KBBI. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:  Balai Pustaka. hal. 18
[24] http://carajuki.com/inilah-pengertian-dan-contoh-akulturasi-budaya/ diakses pada tanggal 2 April 2016 pada pukul 15.08 WIB
[25] http://carajuki.com/inilah-pengertian-dan-contoh-akulturasi-budaya/ diakses pada tanggal 2 April 2016 pukul 15.30 WIB
[26] http://www.markijar.com/2016/01/7-akulturasi-kebudayaan-nusantara-dan.html diakses pada tanggal 2 April 2016 pukul 15.45 WIB
[27] http://carajuki.com/inilah-pengertian-dan-contoh-akulturasi-budaya/ diakses pada tanggal 2 April 2016 pada pukul 15.08 WIB

LoA (Law of Attraction)

  LoA ( Law of Attraction )   Law of Attraction adalah hukum tarik menarik. Kita menarik sesuatu yang menurut kita sesuai dengan diri k...