MAKALAH
RELASI
AGAMA-NEGARA
Dosen pengampu:
Nurrochman, S. Fil. I., M. Hum
Disusun oleh :
KELOMPOK VIII
1.
Nurika
Miftahuljannah
2.
Tulilahi
Rabiul Awal
3.
Christy
Nurul Fatimah
4.
Mirza
Ibdaur Rozein
PRODI PENDIDIKAN
METEMATIKA
FAKULTAS SAINS
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN KALIJAGA
2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah yang berjudul Relasi Agama-Negara ini dengan tepat
waktu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
para keluarga dan sahabatnya.
Makalah
ini berisi hubungan agama dan negara dalam sejarah manusia, model-model
hubungan agama-negara, dan hubungan agama dan negara dalam islam. Dalam makalah
ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu menyelesaikan dalam pembuatan makalah ini, diantaranya:
1. Nurrochman,
S. Fil. I., M. Hum selaku dosen pengampu Pendidikan Kenegaraan (Civic Education);
2. keluarga
tercinta dan teman-teman yang telah memberikan motivasi dan bantuan serta bimbingan
kepada penulis dalam menyusun makalah ini;
3. semua
pihak yang tentunya tidak dapat di sebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan dalam menyusun makalah ini.
Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan, khususnya pada makalah ini dan umumnya
pada makalah-makalah yang akan kami buat selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak dan dapat memberikan wawasan yang lebih luas
khususnya tentang Relasi Agama-Negara. Aamiin.
Yogyakarta, 6
Mei 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Setiap individu dalam satu masyarakat selalu
berinteraksi antara yang satu dengan yang lain membentuk satu kesatuan dengan
berpedoman kepada tata aturan yang kuat. Dalam hal ini agama berperan mengatur
kehidupan masyarakat sehingga mereka bisa hidup berdampingan dan saling
membutuhkan. Begitu pula dengan negara yang merupakan suatu organisasi dalam
suatu wilayah memberikan tata aturan kepada masyarakat dengan membentuk satu
tujuan bersama.
Agama dan negara memang tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat karena
untuk mewujudkan cita-cita bersama. Masyarakat perlu memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam agama dan negara sehingga menuntut masyarakat mendalami apa
itu agama dan apa itu negara dalam segala peran dan fungsinya lebih-lebih di
zaman yang serba modern ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah
dalam pembahasan ini adalah :
1.
Apa
pengertian agama dan negara?
2.
Bagaimana
hubungan agama dan negara?
3.
Bagaimana
hubungan agama dan negara dalam islam?
4.
Apa
saja model hubungan agama dan negara?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian agama dan negara
a) Pengertian agama
Agama menurut etimologi berasal dari kata bahasa sanskerta
dalam kitap upadeca tentang ajaran-ajaran agama hindu disebutkan bahwa
perkataan agama berasal dari bahasa sanskerta yang tersusun dari kata “A”
berarti tidak dan “gama” berarti pergi dalam bentuk harfiah yang terpadu
perkataan agama berarti tidak pergi tetap ditempat, langgeng, abadi, diwariskan
secara terus menerus dari generasi ke generasi
Pada umumnya perkataan
agama diartikan tidak kacau yang secara analitis di uraikan dengan cara di
memisahkan kata demi kata yaitu “A” berarti tidak dan “gama” berarti
kacau maksudnya orang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya
dengan sungguh-sungguh hidupnya tidak akan kacau[1].
Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif.
Oleh karena itu orang sering mendifinisikan agama sesuai dengan pengalamannya
dan penghayatannya pada agama yang di anutnya. menurut “Mukti Ali”,
mantan menteri agama Indonesia menyatakan bahwa agama adalah percaya akan
adanya tuhan yang esa. Dan hukum-hukum yang di wahyukan kepada kepercayaan
utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Sedangkan menurut ”James Martineau” agama
adalah kepercayaan kepada tuhan yang selalu hidup. Yakni kepada jiwa dan
kehendak illahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan
umat manusia.
Friedrich Schleiermacer, menegaskan bahwa agama tidak dapat di lacak dari pengetahuan rasional,
juga tidak dari tindakan moral, akan tetapi agama berasal dari perasaan
ketergantungan mutlak kepada yang tak terhingga (feeling of absolute
dependence)[2].
Di samping itu, agama merupakan pedoman hidup atau
arahan dalam menentukan kehidupan, sebagaimana dalam hadist.
“Kutinggalkan untuk
kamu dua perkara tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih
berpegang kepada keduanya yaitu kitabullah dan sunnah rasul.”[3]
Secara sosiologis menurut “Johnstone”
“Religion can be defined as a system
of beliefs and practices by which a group of people interprets and responds to
what they feel is sacred and usually supernatural swell” lebih lanjut Johnstune menyatakan that by employing this
definition weare, for purposes of sociological investigation atleast, adopting
the position, of the hardnosed relativist and agnostiec. Saya kira dengan
jujur kita harus mengakui masih sangat sulit mencari orang atau pakar-pakar
yang mengkaji atau bergulat dengan agama tertentu di Indonesia, tetapi
sekaligus merupakan relativis dan agnostik[4].
b) Pengertian negara
Secara istilah, negara
diterjemahkan dari kata-kata asing yaitu staat” (bahasa belanda dan jerman)
“state” (bahasa inggris) “etat” (bahasa prancis) kata “staat”(state,etat) itu
diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum, yang artinya keadaan
yang tegak dan tetap atau suatu yang memiliki sifat yang tegak dan tetap.
Negara merupakan
integrasi dari kekuatan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan
politik negara adalah agency (alat)
dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan
manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam
masyarakat
Negara adalah
organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah
terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu negara menetapkan cara-cara dan
batas-batas sampai dimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama
itu, baik oleh individu maupun golongan atau asosiasi, ataupun juga oleh negara
sendiri.[5]
2. Hubungan agama dan negara
Dikalangan kaum muslimin, terdapat kesepakatan bahwa
eksistensi Negara adalah suatu keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan
bermasyarakat negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan
antara masyarakat, sedangkan agama mempunyai otoritas untuk megatur hubungan
manusia dengan tuhannya.
Hubungan antara agama dan negara menimbulkan
perdebatan yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli. Pada hakekatnya
Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat
kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial oleh karena itu
sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula sehingga
negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan
manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian
negara mempunyai sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah
pendiri negara itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas konsep hubungan negara dan
agama sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing masing keyakinan
manusia sangat mempengaruhi konsep hubungan agama dan negara dalam kehidupan
manusia berikut di uraikan beberapa perbedaan konsep hubungan agama dan negara
menurut beberapa aliran atau paham antara lain sebagai berikut:
a.
Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi.
Dalam paham teokrasi hubungan agama dan negara
digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan, negara menyatu dengan
agama karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-
firman Tuhan segala tata kehidupan masyarakat bangsa dan negara dilakukan atas
titah Tuhan dengan demikian urusan kenegaraan atau politik dalam paham
teokrasi juga diyakinkan sebagai manifestasi Tuhan.
Sistem pemerintahan ini ada 2 yaitu teokrasi
langsung dan tidak langsung. Sistem pemerintahan teokrasi langsung adalah
raja atau kepala negara memerintah sebagai jelmaan Tuhan adanya negara didunia
ini adalah atas kehendak Tuhan dan oleh karena itu yang memerintah Tuhan
pula. Sedangkan sistem pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah
bukan Tuhan sendiri melainkan raja atau kepala negara yang memiliki otoritas
atas nama Tuhan. Raja atau kepala negara memerintah atas kehendak Tuhan
dengan demikian dapat dikatakan bahwa negara menyatu dengan agama. Agama dengan
negara tidak dapat dipisahkan.
b.
Hubungan agama dan negara menurut paham sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama
dan negara dalam negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan
dengan agama. Dalam paham ini agama adalah urusan hubungan manusia dengan
manusia lain atau urusan dunia, sedangkan urusan agama adalah hubungan manusia
dengan tuhan dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat dipersatukan
meskipun memisahkan antara agama dan negara lazimnya Negara sekuler membebaskan
warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini, tetapi negara
tidak ikut campur tangan dalam urusan agama.
c. Hubungan agama dan negara menurut paham komunisme
Paham komunisme ini memendang hakekat hubungan agama
dan negara berdasarkan filosofi dialektis dan materialisme histories paham ini
menimbulkan paham Atheis (tak bertuhan) yang dipelopori Karl marx menurutnya
manusia ditentukan oleh dirinya agama dalam hal ini dianggap suatu kesadaran
diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.
Manusia adalah dunia manusia sendiri yang
kemudian menghasilkan masyarakat negara sedangkan agama dipandang sebagai
realisasi fantastis mahluk manusia dan agama adalah keluhan mahluk tertindas.
Oleh karena itu agama harus ditekan dan dilarang nilai yang tertinggi dalam
negara adalah materi karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.[6]
3. Hubungan agama dan negara menurut islam
Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan
berlanjut hingga kini diantara para ahli. Bahkan menurut Azyumardi Azra
(1996:1), perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan
berlangsung hingga dewasa ini[7].
Masih menurut Azyumardi, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan
negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara islam sebagai agama
dan islam sebagai negara[8]. Dalam
bahasa lain, hubungan antara agama dan politik dikalangan umat islam. Terlebih-lebih
dikalangan Sunni yang banyak diatur oleh masyarakat Indonesia pada dasarnya
bersifat anbiguous atau ambivaien. Hal demikian itu, karena ulama Sunni
sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisah antara
agama dan negara. Sementara terdapat pula ketegangan pada tataran konseptual
maupun tataran praktis dalam politik, sebab sepetu yang dilihat terdapat
ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama dan politik.
Selain hal-hal yang
disebutkan diatas, kitab suci Al-Qur’an dan Hadits tampaknya juga merupakan
inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri
menyebut dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini
juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama
dan negara yang dapat diperdebatkan oleh para ahli.
Tentang hubungan agama dan
negara dalam Islam, menurut munawir Sadzali (1990:235-236), ada tiga aliran
yang menanggapinya[9]. Pertama yang mengatakan bahwa islam adalah agama yag paripurna, yang
mencakup segala-galanya, termasuk masalah negara. Oleh karena itu, agama tidak
dapat dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama, serta
sebaliknya.
Aliran kedua, mengatakan
bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini,
Nabi Muhammad SAW tidak punya misi untuk mendirikan negara.
Aliran ketiga, berpendapat
bahwa Islam tidak mencakup segala hal, tetapi mencakup seperangkat prinsip dan
tatanan nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat, terasuk bernegara. Oleh karena itu, dalam bernegara, umat Islam
harus mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang diajarkan
secara garis besar oleh Islam.
4. Model hubungan agama dan negara
“Hussein
Mohammad” menyebutkan bahwa dalam islam ada dua model hubungan agama dan
negara.
a. Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas dimana
agama merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan keduanya merupakan
dua lembaga yang menyatu.
b. Hubungan simbiosis mutualistik bahwa antara agama dan negara terdapat
hubungan yang saling membutuhkan sebab tanpa agama akan terjadi kekacauan dan
amoral dalam negara.
Ibnu taimiyah (tokoh sunni salafi)
berpendapat bahwa agama dan negara benar-benar berkelindahan tanpa kekuasaan
negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya sementara itu tanpa
disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.
Selanjutnya al-Ghazali dalam bukunya “Aliqtishad
fi Ali’tiqat” mengatakan bahwa agama dan negara adalah dua anak
kembar. Agama adalah dasar dan penguasa/kekuasaan, negara adalah penjaga segala
sesuatu yang tidak memiliki dasar akan hancur dan sesuatu yang tidak memeiliki
penjaga akan sia-sia[10].
Mengingat kompleksitas politis dan historis negara,
bangsa Indonesia sejauh menyangkut kehidupan agama dan umat beragama dan juga political and social repercussions yang
bisa muncul pada masa sekarang ini dalam masa masa transisi mendatang maka
jelas masih sangat sulit mencari format yang tepat dan accep table bagi banyak pihak dalam “reposisi” hubungan
agama dan negara.
Akan tetapi agaknya satu hal sangat jelas bahwa akan sulit
dibayangkan jika reposisi itu dimaksudkan untuk menyisihkan begitu saja peran
pemerintah dalam mengatur kehidupan warga negara termasuk dalam kehidupan
beragama, khususnya dalam aspek administrasi keagamaan bukan aspek teologis
masing masing agama dan akan lebih sulit lagi jika reposisi itu dimaksudkan
untuk memisahkan agama dan negara melalui pemisahan kedap air (Waterlight separation) dengan kata lain
mengubah Indonesia menjadi negara sekuler setidaknya sebagian besar umat islam
belum siap untuk menerima perubahan itu[11].
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Agama menurut etimologi
berasal dari kata bahasa sanskerta dalam kitab Upadeca tentang
ajaran-ajaran agama Hindu disebutkan bahwa perkataan agama berasal dari bahasa
sanskerta yang tersusun dari kata “A” berarti tidak dan “gama” berarti
pergi dalam bentuk harfiah yang terpadu perkataan agama berarti tidak pergi
tetap ditempat, langgeng, abadi,
diwariskan secara terus menerus dari generasi ke generasi.
·
Secara istilah, negara
diterjemahkan dari kata-kata asing yaitu staat”
(bahasa Belanda dan Jerman) “state”
(bahasa Inggris) “etat” (bahasa Perancis)
kata “staat”(state, etat) itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau
statum, yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau suatu yang memiliki
sifat yang tegak dan tetap.
·
Hubungan agama dan
negara.
a. Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi.
Dalam paham teokrasi hubungan agama dan negara
digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan, negara menyatu dengan
agama karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-
firman Tuhan segala tata kehidupan masyarakat bangsa dan negara dilakukan atas
titah Tuhan dengan demikian urusan kenegaraan atau politik dalam paham
teokrasi juga diyakinkan sebagai manifestasi Tuhan.
b. Hubungan agama dan negara menurut paham sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama
dan negara dalam negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan
dengan agama. Dalam paham ini agama adalah urusan hubungan manusia dengan
manusia lain atau urusan dunia, sedangkan urusan agama adalah hubungan manusia
dengan Tuhan dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat dipersatukan
meskipun memisahkan antara agama dan negara lazimnya. Negara sekuler membebaskan
warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini tapi negara
tidak ikut campur tangan dalam urusan agama.
c. Hubungan agama dan negara menurut paham komunisme
Paham komunisme ini
memandang hakekat hubungan agama dan negara berdasarkan filosofi dialektis dan
materialisme historis paham ini menimbulkan paham Atheis (tak bertuhan) yang
dipelopori Karl Marx menurutnya manusia ditentukan oleh dirinya agama dalam hal
ini dianggap suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya
sendiri.
·
Tentang hubungan agama
dan negara dalam Islam, menurut Munawir Sadzali (1990:235-236), ada tiga aliran
yang menanggapinya9. Pertama yang mengatakan bahwa islam adalah agama yang paripurna, yang mencakup
segala-galanya, termasuk masalah negara. Oleh karena itu, agama tidak dapat
dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama, serta
sebaliknya.
·
“Hussein Mohammad”
menyebutkan bahwa dalam islam ada dua model hubungan agama dan negara.
a) Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas dimana
agama merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan keduanya merupakan
dua lembaga yang menyatu.
b) Hubungan simbiosis mutualistik bahwa antara agama dan negara terdapat
hubungan yang saling membutuhkan sebab tanpa agama akan terjadi kekacauan dan
amoral dalam negara.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2002.Reposisi
Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Azra, Waqiatul.2006.Buku
ajar civic education.Pamekasan : STAIN Pamekasan Press.
Daulay, Hamdan dkk.2005.Pancasila dan Kewarganegaraan.Yogyakarta:Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Rakhmat, Jalaluddin.
2004.Psikologi Agama sebuah pengantar. Bandung : PT. Mizlan Pustaka.
Rosyada, Dede. 2000.Pendidikan
Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani. Jakarta: IAIN
Jakarta Press.
Sukardji, K. 1993.Agama-agama
yang berkembang di dunia dan pemeluknya. Bandung : Angkasa.
[1]K. Sukardji, Agama-agama yang berkembang di dunia dan
pemeluknya (Bandung:Angkasa,1993)
hlm
26
[2]Jalaluddin Rakhmat,
Psikologi Agama sebuah pengantar (Bandung: PT. MIizan Pustaka, 2004) hal. 20
[3]Waqiatul Azra, Buku ajar civic education (Pamekasan, STAIN
Pamekasan Press,2006) hal 48
[4]Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara
(Jakarta: Kompas Meida Nusantara,2002)
hal 33
[5]Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi,
HAM, dan masyarakat madani, (Jakarta:IAIN Jakarta Press, 2000) hal, 31-33
[6]Daulay, Hamdan dkk.2005.Pancasila dan Kewarganegaraan.Yogyakarta:Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, hal.50-54
[7]Ibid, hal 54-57
[8]Azyumardi Azra,
Reposisi Hubungan Agama dan Negara (Jakarta: Kompas Meida Nusantara,2002)
hal 1
[9]Ibid hal 1
[10]Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi,
HAM, dan masyarakat madani, (Jakarta:
IAIN Jakarta Press, 2000),hal 124-129
[11]Ibid, hal 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar