Senin, 01 Januari 2018

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU - Wayang (Kematian Prahasta)



Oleh: Nurika Miftahuljannah

Assalamu’alaikum wr. wb.

Refleksi Filsafat Ilmu saat ini bukan merupakan refleksi perkuliahan akan tetapi refleksi mengenai etik dan estetika serta aksiologi pertunjukkan wayang. Pada kesempatan kali ini, setiap mahasiswa diberi tugas untuk menyaksikan pertunjukkan wayang yang bertempat di Pendopo Museum Sonobudoyo. Museum ini beralamatkan di Jalan Trikora/Pangurukan No. 6, Yogyakarta, Indonesia, Phone +62 274 385664. Prof. Marsigit, M.A. meminta kami untuk mengungkapkan etik dan estetika dibalik pertunjukkan wayang tersebut. Selain itu beliau juga meminta setiap mahasiswa untuk mengungkap aksiologinya.
Pertunjukkan wayang yang diadakan di Museum Sonobudoyo ini terdiri dari delapan episode, setiap episode ditampilkan dalam satu kali pertunjukkan setiap malamnya pada pukul 20.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Kali ini saya berkesempatan untuk menyaksikan pertunjukkan pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2017 bersama kedua teman kelas saya, yaitu Mariana dan Mas Insan. Saat itu, episode yang sedang dipertunjukkan adalah episode kelima mengenai Kematian Prahasta. Episode kelima ini terdiri ada dua setting lokasi. Lokasi yang pertama berada di Kerajaan Pancawita dan lokasi kedua di Kerajaan Alengka.
Peran yang dilakonkan di kerajaan Pancawita antara lain Rama, Laksmana, Anila, dan Wibisana yang merupakan adik terkecil Rahwana yang meninggal Pancawita. Pada setting pertama ini, dikisahkan bahwa singkat cerita Rama menceritakan temannya yang dia harapkan dapat menaklukkan Rahwana. Kepada Rama, Wibisana mengungkapkan kekuatan rahasia yang dimiliki oleh Rahwana, yang mengatakan bahwa kekuatannya berada di dalam sihir pedang Mentawa. Sugriwa kemudian memerintahkan kepada Anila untuk mencuri pedang milik Rahwana.
Kemudian pertunjukkan dilanjutkan pada setting kedua yang terletak di Kerajaan Alengka.  Pemeran dalam setting kedua ini adalah Prahasta dan Anila. Dikisahkan bahwa Prahasta adalah satu-satunya orang yang dipercayai oleh Rahwana untuk menjaga Pedang Mentawa. dengan trik ini, Anila mengatur cara untuk mencuri pedang tersebut. Sayang seribu sayang, Prahasta memergokinya dan kemudian mengejarnya. Ketika berada di perbatasan Alengka, Anila melihat tugu yang sangat dekat. Dengan sigap, ia turun ke bawah dan akhirnya Prahasta terbunuh oleh tugu itu.
Selanjutnya, dalam kesempatan kali ini saya akan coba menyampaikan etik dan estetika dari pertunjukkan wayang tersebut. Etik atau etika merupakan bidang yang bersifat normatif, memiliki hubungan dengan kesusilaan (akhlak, moral), merupakan salah satu bidang filsafat yang memberi nilai buruk atau baik atas perbuatan seseorang. Etika yang ada di dalam wayang yaitu mengenalkan norma-norma atau aturan yang ada di dalam kehidupan manusia. Mengajarkan norma-norma kebaikan dan budi pekerti.
Dalam  pewayangan, banyak pesan moral yang terkandung yang dijadikan sebagai etika Jawa. Salah satunya yang  berbunyi “Sabda Pandita Ratu”, lan Kena Wola-wali”, secara harfiah artinya  adalah  ucapan  pandeta  (dalam Islam ulama’) dan raja tidak boleh diulang-ulang”. Maknanya  adalah  seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk melaksanakan apa yang telah diucapkannya. Dalam khasanah bahasa Indonesia  kita juga  memiliki  ungkapan semacam itu, yaitu “satunya kata dan perbuatan”. Jadi antara perbuatan dengan yang diucapkan memiliki keseragaman atau tidak kontradiksi.
Seorang pemimpin secara konsekuen selalu bertekat untuk melaksanakan apa yang telah  diucapkannya,  dalam  bahasa  Jawa  dinyatakan sebagai pemimin yang memiliki sifat “ Bawalaksana“ atau melaksanakan apa yang telah dijanjikannya. Seperti yang dikisahkan dalam pertunjukkan wayang pada setting kedua. Prahasta diberi kepercayaan oleh Rahwana untuk menjaga pedang Mentawa. maka dengan segenap kesungguhan hati, jiwa, dan raganya ia akan berjanji dan berusaha menjaga pedang tersebut. Sehingga ketika ada orang yang berusaha mencurinya, ia akan berusaha menangkap pencuri tersebut dan mendapatkan pedang itu kembali hingga kematian menghampirinya.
Saya bersyukur dapat berkesempatan menyaksikan pertunjukkan wayang yang memiliki makna moral yang sangat bermanfaat dalam menjalani kehidupan. Bersyukur memiliki kebudayaan yang sangat beretika yang sampai sekarang masih tetap eksis meskipun peminat maupun penontonnya mulai menurun. Tontonan jaman sekarang rata-rata hanya bersifat menghibur dan tanpa ada nilai moral yang bisa diambil. Sehingga sulit untuk diambil manfaatnya.
Sedangkan berdasarkan estetikanya, wayang banyak memiliki unsur seni. Estetika (estetis) adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah estetika berasal dari kata Yunani “aesthesis”, yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni) berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan. Batasan keindahan sulit dirumuskan karena keindahan itu abstrak, identik dengan kebenaran. Sehingga keindahan juga memiliki relativitas masing-masing untuk setiap orang.
Dilihat dari unsur pembuatnya, wayang yang terbuat dari kulit hewan dengan ukiran-ukiran yang sangat detil menyesuaikan tokoh dan wataknya. Seluruh bagian yang ada dalam pertunjukan wayang memiliki filosofinya masing-masing. Wayang melambangkan manusia, gunungan melambangkan suatu kehidupan, kelir (kain putih untuk bayangan wayang) melambangkan langit, sedangkan debog (batang pisang untuk menacapkan wayang) melambangkan bumi dan sebagainya. Semua mempunyai arti dan nilai seninya masing-masing. Nilai estetika dari wayang selain itu terletak pada seni musik gamelannya. Gamelan jawa merupakan kumpulan alat musik Jawa yang terdiri dari berbagai macam variasi bentuk, ukuran, dan bunyi. Cara memainkannya pun juga bermacam-macam.
Gamelan Jawa antara lain adalah gong, kenong, suling, kendhang, rebab, saron, dan masih banyak lagi. Jika dari banyak jenis gamelan itu dimainkan secara bersamaan, senada dan selaras akan menghasilkan bunyi yang indah. Seperti halnya manusia, gamelan dapat dianalogikan sebagai manusia, manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia satu dengan manusia yang lain saling membutuhkan. Manusia juga harus seperti gamelan, harus selaras, saling tolong menolong dan saling gotong royong antar sesama karena manusia adalah mahluk sosial. Apabila hal-hal di atas diwujudkan maka akan tercipta keselarasan dalam hidup dan bermasyarakat.
Selain itu, para penabuh gamelan ketika tampil juga selalu mengenakan busana yang seragam dan kompak. Tak kalah para sinden pun juga demikian. Dalam kesempatan ini, saya menyaksikan ada 22 orang yang terlibat dalam pertunjukkan wayang tersebut. 1 orang sebagai dalang, 4 orang sinden, dan yang lainnya adalah pemain gamelan. Berdasarkan hasil wawancara kami kepada Bapak Sumardiyono, yang memberikan tiket untuk kami bisa menonton wayang, mengatakan bahwa ada 5 dalang yang terlibat dalam keseluruhan pertunjukkan tersebut. Kelima dalang tersebut adalah Ki Maman, Ki Supono, Ki Marsudi, Ki Suharno, dan Ki Sarjiko. Kelima dalang tersebut bergantian setiap harinya sehingga penonton yang menyaksikan setiap hari tidak merasa bosan dan keindahan dari pertunjukkan wayang tetap terjaga.
Dengan demikian, berdasarkan uaraian di atas, etik dan estetika dalam suatu kebudayaan merupakan sesuatu yang harus tetap dipertahankan untuk menjaga nilai-nilai moral, kebaikan, kejujuran, sopan-santun, dan juga keindahan. Adanya nilai-nilai etika dan estetika dalam suatu kebudayaan dalam suatu masyarakat akan menjadi nilai luhur tersendiri dari budaya tersebut. Berikut saya tampilkan gambar-gambar yang saya ambil ketika menyaksikan pertunjukkan wayang.
 



Selain etik dan estetika, wayang juga memiliki aksiologisnya sendiri. Aksiologi adalah ilmu tentang seluruh tindakan yang dilakonkan dalam wayang yang pantas atau layak. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang berkualitas dan tidak menyimpang dari kesusilaan. Aksiologi wayang berkaitan dengan tipologi karakter atau watak wayang yang beraneka ragam, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung sangat berkaitan erat dengan etik atau etika.
Terakhir, semoga refleksi ini bermanfaat khususnya bagi saya sendiri yang bagi yang berkepentingan pada umumnya. Segala salah dalam menyajikan refleksi ini mohon dimaafkan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kekurangan milik kita semua sebagai makhluk-Nya.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LoA (Law of Attraction)

  LoA ( Law of Attraction )   Law of Attraction adalah hukum tarik menarik. Kita menarik sesuatu yang menurut kita sesuai dengan diri k...