Oleh: Nurika Miftahuljannah
Assalamu’alaikum wr. wb.
Refleksi
Filsafat Ilmu saat ini bukan merupakan refleksi perkuliahan akan tetapi
refleksi mengenai etik dan estetika serta aksiologi pertunjukkan wayang. Pada kesempatan kali
ini, setiap mahasiswa diberi tugas untuk menyaksikan pertunjukkan wayang yang
bertempat di Pendopo Museum Sonobudoyo. Museum ini beralamatkan di Jalan
Trikora/Pangurukan No. 6, Yogyakarta, Indonesia, Phone +62 274 385664. Prof.
Marsigit, M.A. meminta kami untuk mengungkapkan etik dan estetika dibalik
pertunjukkan wayang tersebut. Selain itu beliau juga meminta setiap mahasiswa
untuk mengungkap aksiologinya.
Pertunjukkan
wayang yang diadakan di Museum Sonobudoyo ini terdiri dari delapan episode,
setiap episode ditampilkan dalam satu kali pertunjukkan setiap malamnya pada
pukul 20.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Kali ini saya berkesempatan untuk menyaksikan
pertunjukkan pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2017 bersama kedua teman kelas
saya, yaitu Mariana dan Mas Insan. Saat itu, episode yang sedang dipertunjukkan
adalah episode kelima mengenai Kematian Prahasta. Episode kelima ini terdiri
ada dua setting lokasi. Lokasi yang pertama berada di Kerajaan Pancawita dan
lokasi kedua di Kerajaan Alengka.
Peran yang
dilakonkan di kerajaan Pancawita antara lain Rama, Laksmana, Anila, dan Wibisana
yang merupakan adik terkecil Rahwana yang meninggal Pancawita. Pada setting
pertama ini, dikisahkan bahwa singkat cerita Rama menceritakan temannya yang
dia harapkan dapat menaklukkan Rahwana. Kepada Rama, Wibisana mengungkapkan
kekuatan rahasia yang dimiliki oleh Rahwana, yang mengatakan bahwa kekuatannya
berada di dalam sihir pedang Mentawa. Sugriwa kemudian memerintahkan kepada
Anila untuk mencuri pedang milik Rahwana.
Kemudian pertunjukkan
dilanjutkan pada setting kedua yang terletak di Kerajaan Alengka. Pemeran dalam setting kedua ini adalah
Prahasta dan Anila. Dikisahkan bahwa Prahasta adalah satu-satunya orang yang
dipercayai oleh Rahwana untuk menjaga Pedang Mentawa. dengan trik ini, Anila
mengatur cara untuk mencuri pedang tersebut. Sayang seribu sayang, Prahasta
memergokinya dan kemudian mengejarnya. Ketika berada di perbatasan Alengka,
Anila melihat tugu yang sangat dekat. Dengan sigap, ia turun ke bawah dan
akhirnya Prahasta terbunuh oleh tugu itu.
Selanjutnya, dalam
kesempatan kali ini saya akan coba menyampaikan etik dan estetika dari
pertunjukkan wayang tersebut. Etik atau etika merupakan bidang yang bersifat
normatif, memiliki hubungan dengan kesusilaan (akhlak, moral), merupakan salah
satu bidang filsafat yang memberi nilai buruk atau baik atas perbuatan
seseorang. Etika yang ada di dalam wayang yaitu mengenalkan norma-norma atau
aturan yang ada di dalam kehidupan manusia. Mengajarkan norma-norma kebaikan
dan budi pekerti.
Dalam pewayangan, banyak pesan moral yang
terkandung yang dijadikan sebagai etika Jawa. Salah satunya yang berbunyi “Sabda Pandita Ratu”, lan Kena
Wola-wali”, secara harfiah artinya
adalah ucapan pandeta
(dalam Islam ulama’) dan raja tidak boleh diulang-ulang”. Maknanya adalah
seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk melaksanakan apa yang telah
diucapkannya. Dalam khasanah bahasa Indonesia
kita juga memiliki ungkapan semacam itu, yaitu “satunya kata dan
perbuatan”. Jadi antara perbuatan dengan yang diucapkan memiliki keseragaman
atau tidak kontradiksi.
Seorang
pemimpin secara konsekuen selalu bertekat untuk melaksanakan apa yang
telah diucapkannya, dalam
bahasa Jawa dinyatakan sebagai pemimin yang memiliki
sifat “ Bawalaksana“ atau melaksanakan apa yang telah dijanjikannya. Seperti yang
dikisahkan dalam pertunjukkan wayang pada setting kedua. Prahasta diberi
kepercayaan oleh Rahwana untuk menjaga pedang Mentawa. maka dengan segenap
kesungguhan hati, jiwa, dan raganya ia akan berjanji dan berusaha menjaga
pedang tersebut. Sehingga ketika ada orang yang berusaha mencurinya, ia akan
berusaha menangkap pencuri tersebut dan mendapatkan pedang itu kembali hingga
kematian menghampirinya.
Saya bersyukur
dapat berkesempatan menyaksikan pertunjukkan wayang yang memiliki makna moral
yang sangat bermanfaat dalam menjalani kehidupan. Bersyukur memiliki kebudayaan
yang sangat beretika yang sampai sekarang masih tetap eksis meskipun peminat
maupun penontonnya mulai menurun. Tontonan jaman sekarang rata-rata hanya
bersifat menghibur dan tanpa ada nilai moral yang bisa diambil. Sehingga sulit untuk
diambil manfaatnya.
Sedangkan
berdasarkan estetikanya, wayang banyak memiliki unsur seni. Estetika (estetis) adalah cabang filsafat yang
mempersoalkan seni dan keindahan. Istilah estetika berasal dari kata Yunani
“aesthesis”, yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa
juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art
(seni) berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan. Batasan keindahan
sulit dirumuskan karena keindahan itu abstrak, identik dengan kebenaran. Sehingga
keindahan juga memiliki relativitas masing-masing untuk setiap orang.
Dilihat dari
unsur pembuatnya, wayang yang terbuat dari kulit hewan dengan ukiran-ukiran yang
sangat detil menyesuaikan tokoh dan wataknya. Seluruh bagian yang ada dalam
pertunjukan wayang memiliki filosofinya masing-masing. Wayang melambangkan manusia,
gunungan melambangkan suatu kehidupan, kelir (kain putih untuk bayangan wayang)
melambangkan langit, sedangkan debog (batang pisang untuk menacapkan wayang)
melambangkan bumi dan sebagainya. Semua mempunyai arti dan nilai seninya
masing-masing. Nilai estetika dari wayang selain itu terletak pada seni musik gamelannya.
Gamelan jawa merupakan kumpulan alat musik Jawa yang terdiri dari berbagai
macam variasi bentuk, ukuran, dan bunyi. Cara memainkannya pun juga
bermacam-macam.
Gamelan Jawa
antara lain adalah gong, kenong, suling, kendhang, rebab, saron, dan masih
banyak lagi. Jika dari banyak jenis gamelan itu dimainkan secara bersamaan,
senada dan selaras akan menghasilkan bunyi yang indah. Seperti halnya manusia,
gamelan dapat dianalogikan sebagai manusia, manusia itu tidak bisa hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia satu dengan manusia yang lain saling
membutuhkan. Manusia juga harus seperti gamelan, harus selaras, saling tolong
menolong dan saling gotong royong antar sesama karena manusia adalah mahluk
sosial. Apabila hal-hal di atas diwujudkan maka akan tercipta keselarasan dalam
hidup dan bermasyarakat.
Selain itu,
para penabuh gamelan ketika tampil juga selalu mengenakan busana yang seragam
dan kompak. Tak kalah para sinden pun juga demikian. Dalam kesempatan ini, saya
menyaksikan ada 22 orang yang terlibat dalam pertunjukkan wayang tersebut. 1
orang sebagai dalang, 4 orang sinden, dan yang lainnya adalah pemain gamelan. Berdasarkan
hasil wawancara kami kepada Bapak Sumardiyono, yang memberikan tiket untuk kami
bisa menonton wayang, mengatakan bahwa ada 5 dalang yang terlibat dalam
keseluruhan pertunjukkan tersebut. Kelima dalang tersebut adalah Ki Maman, Ki
Supono, Ki Marsudi, Ki Suharno, dan Ki Sarjiko. Kelima dalang tersebut
bergantian setiap harinya sehingga penonton yang menyaksikan setiap hari tidak
merasa bosan dan keindahan dari pertunjukkan wayang tetap terjaga.
Dengan demikian,
berdasarkan uaraian di atas, etik dan estetika dalam suatu kebudayaan merupakan
sesuatu yang harus tetap dipertahankan untuk menjaga nilai-nilai moral,
kebaikan, kejujuran, sopan-santun, dan juga keindahan. Adanya nilai-nilai etika
dan estetika dalam suatu kebudayaan dalam suatu masyarakat akan menjadi nilai
luhur tersendiri dari budaya tersebut. Berikut saya tampilkan gambar-gambar
yang saya ambil ketika menyaksikan pertunjukkan wayang.
Selain etik
dan estetika, wayang juga memiliki aksiologisnya sendiri. Aksiologi adalah ilmu
tentang seluruh tindakan yang dilakonkan dalam wayang yang pantas atau layak. Tindakan
yang dimaksud adalah tindakan yang berkualitas dan tidak menyimpang dari
kesusilaan. Aksiologi wayang berkaitan dengan tipologi karakter atau watak wayang
yang beraneka ragam, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung sangat
berkaitan erat dengan etik atau etika.
Terakhir, semoga refleksi ini bermanfaat khususnya bagi saya sendiri yang bagi yang berkepentingan pada umumnya. Segala salah dalam menyajikan refleksi ini mohon dimaafkan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kekurangan milik kita semua sebagai makhluk-Nya.
Terakhir, semoga refleksi ini bermanfaat khususnya bagi saya sendiri yang bagi yang berkepentingan pada umumnya. Segala salah dalam menyajikan refleksi ini mohon dimaafkan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kekurangan milik kita semua sebagai makhluk-Nya.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar